MAKALAH ULUMUL HADITS
TAKHRIJ HADITS oleh K. Mala Muzaky BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Takhrij Hadist merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadist. Pada masa awal penelitian hadist telah dilakukan oleh para ulama salaf yang kemudaian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadist. Mengetahui masalah takhrij, kaidah. dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar‟i, agar mampu melacak suatu hadist sampai pada sumbernya. Kebutuhan takhrij adalah perlu sekali, karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadist atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadist dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya, karena itu, masalah takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar‟i dan yang sehubungan dengannya. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang takhrij hadits ini akan dibahas dalam bab selanjutnya. B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan tentang definisi takhrij? 2. Apa manfaat takhrij hadist? 3. Jelaskan tentang metode takhrij hadist? 4. Sebutkan kitab-kitab yang digunakan dalam takhrij hadits? 5. Berikan contoh tentang takhrij hadits? C. Tujuan 1. Mengetahui tentang definisi takhrij 2. Mengetahui manfaat takhrij hadis 3. Mengetahui tentang metode takhrij hadits 4. Mengetahui kitab-kitab yang digunakan dalam takhrij hadits 5. Mengetahui contoh takhrij hadits BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Takhrij Hadits Kata takhrij ( (تخريجadalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Sedang pengertian takhrij al-hadits menurut istilah ada beberapa pengertian, di antaranya ialah: 1. Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul Bukhari artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata akhrajahul muslim berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim. 2. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab. 3. Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas haditsnya. 4. Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan. Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan. [1] B. Faktor Penyebab Takhrij Al-Hadits Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut: 1. Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan. 2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti. Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih. 3. Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’I atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’. Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya. [2] C. Metode-metode yang Digunakan Di dalam takhrij Hadis Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu: 1. Takhrij Menurut Lafaz Pertama Matan Hadis. Metode ini tergantung pada lafaz pertama matan hadits. Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadits-hadits yang huruf pertama dan lafaz pertamanya alif, ba’, ta’, dan seterusnya. Seorang mukharrij yang menggunakan ini haruslah terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafaz pertama dari hadis yang akan ditakhrij¬-nya, setelah itu barulah dia melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang disusun berdasarkan metode ini, dan huruf kedua, ketiga, dan seterusnya. Seperti contoh jika kita mau men-takhrij hadis yang berbunyi: مَنْ حَدَّثَ عَنِّى حَدِيْثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan ini adalah menentukan urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafaz pertamanya, dan begitu juga lafaz-lafaz selanjutnya: a. Lafaz pertama dari hadis di atas di mulai dengan huruf mim, maka di buka kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan metode ini pada bab mim. b. Kemudian mencari huruf kedua setelah mim, yaitu nuan. c. Berikutnya mencari huruf-huruf selanjutnya, yaitu ha, da, dan tsa. Dan demikianlah seterusnya mencari huruf-huruf hijaiyah pada lafaz-lafaz matan hadis tersebut. Di antara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: a. Al-Jami’ al-Shaghir min hadis al-Basyir al-Nadzir, karangan al-Suyuthi (w.911 H). b. Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadat ila al-Jami’ al-Shagir, juga karangan al-Suyuthi. c. Jam’al-jawawi’ aw al-Jami’ al-Kabir, juga dikangan oleh al-Suyuthi. d. Al-Jami’ al-Azhar min hadis al-Nabi al-Anwar, oleh al-Minawi (w.1031). e. Hidayat al-Bari ila Tartib Ahadis al-Bukhari, oleh’Abd al-Rahim ibn ’Anbar al-Thahawi (w.1365). f. Mu’jam jami’ al-Ushul fi Ahadis al-Rasul, oleh Imam al-Mubarak ibn Muhammad ibn al-Atsir al-Jazari. 2. Takhrij Melalui Kata-kata dalam Matan hadis Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa isim atau fiil. Hadits-hadits yang dicantumkan adalah berupa potongan atau bagian dari hadits, dan para ulama yang meriwayatkannya beserta nama kitab-kitab induk hadits yang dikarang mereka, dicantumkan di bawah potongan hadits-hadits tersebut. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadits berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaannya. Umpamanya, pencarian hadis berikut: إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةً مِنْ غَيْرِ طَهُوْرٍ , وَلاَ صَدَقَةً مِنْغُلُوْلٍ Dalam pencarian hadis di atas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui kata-kata Thahurin, Shadaqotan, dan Ghululin. Akan tetapi, dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata ghululin karena kata tersebut jarang adanya ketimbang kata-kata yang lain dari hadis di atas. Hal ini di sebabkan agar mudah di dalam mencari sumber hadis tersebut dari mana asalnya. [3] 3. Takhrij Melalui Perawi Hadis Pertama Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis, baik perawi tersebut dari kalangan sahabat, bila sanadnya muttashil sampai kepada Nabi saw, atau dari kalangan Tabi’in, apabila hadis tersebut Mursal. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi pertama tersebut. Oleh karenanya, sebagai langkah pertama dalam metode ini adalah mengenal para perawi pertama dari setiap hadis yang hendak di takhrij, dalam kitab-kitab itu, dan selanjutnya mencari hadis dimaksud di antara hadis-hadis yang tertera di bawah nama perawi pertama tersebut. Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan kitab-kitab Musnad. Kitab al-Athraf adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat. Penyusunnya hanya menyebutkan beberapa kata atau pengertian dari matan hadis, yang dengannya dapat dipahami hadis dimaksud. Sementara dari segi sanad, seluruh sanad-sanadnya dikumpulkan. Di antara kitab-kitab al-Athraf ini adalah: Athraf al-Shahihain, karangan Imam Abu Mas’ud Ibrahim al-Dimasyqi (w.400 H), Athraf al-Kutub al-Sittah, karangan Syams al-Din al-Maqdisi (w. 507 H), dan lainnya. Adapun kitab Musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan perawi teratas, yaitu sahabat, dan memuat hadis-hadis setiap sahabat. Kitab ini menyebutkan seorang sahabat dan di bawah namanya itu dicantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw beserta pendapat dan tafsirannya. Suatu kitab musnad tidaklah memuat keseluruhan sahabat, ada diantaranya yang memuat sahabat dalam jumlah besar dan ada yang memuat sahabat-sahabat yang memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu, seperti musnad sahabat yang sedikit riwayatnya, atau musnad sepuluh sahabat yang di jamin masuk syurga, atau bahkan ada musnad yang memuat hadis-hadis dari satu orang sahabat, seperti musnad Abu Bakar. Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Musnad tidak diatur menurut suatu aturan apapun dan tidak memiliki nilai atau kualitas yang sama. Dengan demikian, di dalam musnad terdapat hadits-hadits sahih, hasan, dan dha’if, dan masing-masing tidak terpisah antara yang satu dengan yang lainnya tetapi dikumpulkan menjadi satu. Diantara contoh kitab Musnad tersebut adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. 4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadtis Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu, untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan di-takhrij, dan kemudian baru mencarinya melalui tema tersebut pada kitab-kitab yang disusun menggunakan metode ini. Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus demikian seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin di kandung oleh hadits tersebut. أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله. Hadis diatas mengandung beberapa tema, yaitu iman, tauhid, salat, dan zakat. Berdasarkan tema-tema tersebut, maka hadis di atas harus dicari di dalam kitab-kitab hadis di bawah tema-tema itu. Dari keterangan ini jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis, sehingga apabila tema dari suatu hadis tidak diketahui, maka akan sulitlah untuk melakukan takhrij dengan menggunakan metode ini. Diantara karya tulis yang disusun berdasarkan metode ini adalah: a. Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al karangan al-Muttaqi al-Hindi. b. Miftah Kunuz al-Sunnah oleh A.J Wensink. c. Nashb al-Rayah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah oleh al-Zayla’i. d. Al-Dariyah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah oleh Ibnu Hajar al-Asqholany. Dan kitab-kitab lainnya yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu dalam bidang Fiqh, Hukum, Targhib dan Tarhib, Tafsir, serta Sejarah. 5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti Hadis-hadis Qudsi, Hadis masyhur, Hadis Mursal, dan lainnya. Seorang peneliti hadis, dengan membuka kitab-kitab seperti diatas, dia telah melakukan takhrij al-Hadis. Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah: a. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirahkarangan al-Suyuthi. b. Al-Ittihafat al-Sanariyyat fi al-Ahadis al-Qudsiyyah karangan al-Madani. c. Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya. Demikianlah metode-metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh para peneliti hadis dalam rangka mengenal hadis-hadis Nabi saw dari segi sanad dan matannya, terutama dari segi statusnya, yaitu diterima (maqbul) dan ditolak (mardud)-nya suatu hadis. [4] D. Kitab-kitab yang Digunakan di Dalam Mentakhrij Hadis Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadis. Adapun kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut. 1. Hidayatul bari ila tartibi ahadisil Bukhari Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar al-Misri at-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam kitab Sahih Bukhari. Lafal-lafal hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam kitab Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadis riwayat al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut. 2. Mu’jam al-Fazi wala siyyama al-Garibu minha fihr litartibi ahadisi sahihi Muslim Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-V dari kitabSahih Muslim yang dikutip oleh Muhammad Abdul Baqi. Jus V ini merupakan kamus yang di dalamnya di mulai juz I-V yang berisi: a. Daftar urutan judul kitab serta nomor hadis dan juz yang memuatnya. b. Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang termuat dalam kitab Sahih Muslim. c. Daftar awal matan hadis dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bila kebetulan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri. 3. Miftahus Sahihain Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa al-Tauqiah kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa qauliyah saja. Hadis-hadis tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan hadis. 4. Al-Bughyatu fi tartibi ahadisi al-hilyah Kitab ini disusun oleh Said Abdul Aziz bin al-Said Muhammad bin Said Siddiq al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim al-Asabuni (w.430 H) yang berjudul Hilyatul auliyai wababaqatul asfiyai. Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitabMiftahut tartibi li ahadisi tarikhul khatib, yang disusun oleh Said Ahmad bin Said Muhammad bin Said As-Siddiq al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad al-Bagdadi yang dikenal dengan al-Khatib al-Bagdadi (w.463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhul Bagdadi yang terdiri atas empat jilid. 5. Al-Jami’us Sagir Kitab ini disusun oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti (w. 91 H). Kitab hadis tersebut memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disusun oleh Imam Suyuti juga yaitu Kitab Jam’ul Jawani. Hadis yang dimuat di dalam kitabjami’us Sagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis secara lengkap dan adapula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup. Kitab hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya. Selain hampir setiap hadis yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh Imam Suyuti. 6. Al-mu’jam al-Mufahras li alfazil hadis nabawi Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses peyusunan ialah Dr. Arnold John Weinsinck (w.1939 M), seorang profesor bahasa-bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda. Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafal matan hadis. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berbeda di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadis, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya. Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam sembilan kitab hadis, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan ad-Darimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Ahmad. [5] E. Manfaat Takhrij Al-Hadits Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadits antara lain sebagai berikut: 1. Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya. 2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak). 3. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad maupun matan. [6] F. Sejarah Takhrij Al-Hadits Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah : - Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi. - Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H). - Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H). - Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi ] - Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H). - Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H). - Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga. - At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H). - Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga. - Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H). Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) : Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin 'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari 'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-'Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi berkata,"Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,"Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun". Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha'. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda kepada 'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada awal tahun". Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi' [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]. [7] BAB III PENUTUP Simpulan : Kata takhrij ( (تخريجadalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Sedangkan yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan. Faktor penyebab takhrij hadits adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits, mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits, dan mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada matarantai sanad. Sedangkan metode-metode yang digunakan didalam takhrij hadits yaitu menurut lafaz pertama matan hadits, melalui kata-kata dalam matan hadits, melalui perawi hadits pertama, berdasarkan tema hadits, berdasarkan status hadits. Manfaat takhrij hadits itu sendiri adalah memberikan informasi apakah hadits itu termasuk hadits shahih, hasan ataupun dhaif, memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa hadits itu makbul (dapat diterima), dan menguatkan keyakinan bahwa hadits itu benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. DAFTAR PUSTAKA • Ahmad, Muhammad, H. Drs., dan Mudzakir .M., dan Djaliel Abd Maman. Drs. 2004. Ulumul Hadits, Bandung : CV. Pustaka Setia. • http://stiqulumalhadis.blogspot.com/…/takhrij-al-hadits.html. • Utang Ranuwijaya. 1996. Ilmu Hadist, Jakarata: Gaya Media Pratama. • Dr. Utang Ranuwijaya, MA. 2001. Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama. • http://stiqulumalhadis.blogspot.com/…/takhrij-al-hadits.html.
2 Comments
Oleh Khoirul Mala Muzaky
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap,mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Salah satunya adalah pesantren. Menurut Ahmad Syafi’i Nur : “ pesantren atau pondok adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan dan selanjutnya,ia dapat merupakan bapak dari pendidikan Islam“. Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya. Karena keunikannya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan kondisi dan hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan karakteristik yang beragam, tidak pernah mati. Berdasarkan pemikiran diatas, maka makalah ini mencoba menjelaskan asal usul pesantren, pertumbuhan, dan karakteristik kelembagaan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Asal-Usul Pesantren? 2. Bagaimanakah Pertumbuhan Kelembagaannya? 3. Bagaimana Karakteristik Pesantren C. Tujuan 1. menjelaskan Asal-usul pesantren 2. menjelaskan Pertumbuhan Kelembagaan pesantren 3. Menjelaskan Bagaimana Karakteristik Pesantren BAB II PEMBAHASAN A. Asal-Usul Pesantren Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah pesantren, kiai dan santri masih diperselisihkan. Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan Pe dan akhiran an yang menunjukan tempat. Dengan demikian pesantren artinya “Tempat para santri“. Selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata sant (Manusia Baik) dengan suku Tra (Suka Menolong) sehingga kata pesantren dapat berarti „Tempat Pendidikan Manusia baik-baik“ Ada yang berpendapat bahwa pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu dari kiai atau guru tersebut maa masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru atau kiai tersebut. Wahjoetomo, mengatakan bahwa pesantren yang berdiri di tanah air, khususnya di jawa dimulai dan dibawa oleh wali songo, dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah “Pondok Pesantren yang pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syekh Maulana Maghribi (Wafat tanggal 12 Robi’ul awal 822 H atau tanggal 8 april 1419 M di Gresik“. Secara terminologis Steenbrink menjelaskan bahwa dilihat dari bentuk dan sistemnya, pesantren berasal dari India. Ini membuktikan sebelum proses penyebaran islam di Indonesia sudah digunakan secara umum untuk pengajaran Hindu Jawa. Setelah Islam tersebar di jawa sistem tersebut diambil oleh Islam. Juga istilah ngaji, istilah pondok, langgar di jawa, Surau di Minangkabau, Rangkang Aceh, bukan berasal dari bahasa arab, merupakan istilah yang terdapat di India. Mahmud yunus menyatakan dalam sejarah pendidikan islam bahwa asal usul pesantren yang menggunakan bahasa arab pada awal pelajarannya, ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibukota wilayah islam. Dengan mengemukakan pendapat para pakar tersebut,membutikan bahwa persoalan-persoalan historis tentang asal-usul pesantren tidak dapat diselesaikan dan dipahami secara keseluruhan,sebelum problematika yang lannya terselesaikan terlebih dahulu, yaitu tentang kedatanga Islam di indonesia. B. Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. Misalnya, Raden rahmat (Yang dikenal sebagai sunan Ampel) mendirikan pesantrennya didaerah kembang kuning (Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairoh dan Kiai Bangkuning . Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebar di pelosok-pelosok tanah air. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosio-kutural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam Bukunya Dr. Faisal Ismail, MA, Paradigma Kebudayaan islam ;Studi Kritis dan refleksi Historis , bahwa Faktor-Faktor yang menopang menguatnya keberadaan pesantren ini antara lain dapat disebutkan sebagai berikut : a. Karena agama islam telah semakin tersebar dipelosok-pelosok tanah air, maka masjid-masjid dan pesantren-pesantren semakin banyak pula didirikan oleh umat islam untuk dijadikan sarana pembinaan dan pengembangan syiar islam. b. Siasat belanda yang terus memecahbelah antara penguasa dan ulam telah mempertinggi semangat jihad umat islam untuk melawan belanda. Menghadapi situasi ini, para ulama hijrah ketempat-tempat yang jauh dari kota dan mendirikan pesantren sebagai basis pemusatan kekuatan mereka. c. Kebutuhan Umat Islam yang semakin mendesak akan sarana pendidikan yang islami, karena sekolah-sekolah belanda secara terbatas hanya menerima murid-murd dari kelas sosial tertentu. d. Semakin lancarnya hubungan antara indonesia dan tanah suci Mekkah yang memungkinkan para pemuda islam indonesia untuk belajar ke Mekkah yang merupakan pusat studi Islam. Sepulangnya dari mekah, banyak diantara mereka yang mendirikan pesantren untuk mengajarkan dan mengembangkan agama islam di daerah asal mereka masing-masing . Demikianlah, pada masa awal pembentukannya pondok pesantren telah tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Setelah berabad-abad lamanya, pesantren semakin berkembang dan kini jumlahnya mencapai ribuan. Menurut buku laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1982, jumlah pesantren yang ada di Indonesia tercatat sebanyak 4.890 buah . D. Karakteristik Pendidikan Pesantren Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren, maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan: seperti materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santri serta hubungan keduanya. a. Materi pelajaran dan Metode Pengajaran Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dari bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji dipesantren adalah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqih dan usul fiqih, hadits dan mustholahul hadits, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwo, sharaf, bayan, ma’ani, badi‘ dan ‘arud, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji di pesantren umumya kitab-kitab yang di tulis dalam abad pertengahan, yaitu abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau lazim disebutdengan “Kitab Kuning“ . Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode Wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Metode sorogan adalah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, kiai membacakan dan menerjemahkannya kalimat perkalimat; kemudian menerangkan maksudya. Metode Hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau Nazam . b. Jenjang Pendidikan Jenjang pendidikan esantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiai nya, maka ia berpindah ke kitab yang lain. Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai paling tinggi . c. Fungsi Pesantren Azyumardi azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, Kedua, Pemeliharaan Tradisi keislaman dan ketiga, reproduksi ulama . d. Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren Pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya. Setidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren :“(1)theocentric; (2)Sukarela dalam pengabdian; (3)kearifan; (4)kesederhanaan; (5)kolektivitas; (6)mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8)kemandirian; (9)pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10)mengamalkan ajaran agama; (11) belajar di pesantren bukan untuk mencari Ijazah; (12) restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai . e. Sarana dan tujuan Pesantren Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari. Sarana belajar misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sedia kala, dengan duduk diatas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai menyampaikan pelajaran. Mengenai tujuan pesantren,sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Adanya keberagaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan independensinya. f. Kehidupan Kiai dan Santri Kehidupan di pesantren berkisar pada pembagian kegiatan berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian diluar. Dalam hal inilah misalnya sering dijumpai santri yang menanak nasi ditengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam matahari. Dimensi waktu yang unik ini tercipta karena kegiatan pokok pesantren dipusatkan pada pemberian pengajian kitab teks (Al-Kutub Al-Muqararah) pada setiap selesai sholat wajib. Demikian pula ukuran lamanya waktu yang dipergunakan sehari-hari; pelajaran diwaktu tengah hari dan malam lebih panjang daripada diwaktu petang dan subuh. BAB III KESIMPULAN Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa : 1. Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah pesantren, kiai dan santri masih diperselisihkan. 2. Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. 3. Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren,maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan:seperti materi pelajaran dan metode pengajaran,prinsip-prinsip pendidikan,sarana dan tujuan pendidikan pesantren,kehidupan kiai dan santriserta hubungan keduanya. DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata,H.(Ed),Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia,grasindo,yakarta,2001,h.93 Ahmad Syafi’i Nur,Pesantren :Asal Usul Dan Pertumbuhan Kelembagaan,Dalam Buku yang di Edit oleh Abuddin Nata yang berjudul Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia,Grasindo,Jakarta,2001 Azyumardi Azra,Prof.Dr.H.,Pendidikan Islam;Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,Logos,Jakarta,2002 Dawam rahardo,M. (Ed.),Pesantren Dan Pembaharuan,LP3ES,Jakarta,1974 Hasbullah, Drs.,Sejarah pendidikan Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,Jakarta,1996 Zamakhsyari Dofier,Tradisi Pesantren,LP3ES,Jakarta ,1983 Mahmud Yunus,Sejarah pendidikan Islam,Raja Grafindo Persada,Jakarta,1996 Marwan Saridjo et.al.,Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia,Drama Bakti,Yakarta,1982 Mastuki HS,M.Ag dan M.Ishom El-saha,M.Ag. ,Intelektualisme Pesantren;Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren,Diva Pustaka,Jakarta,2003 Wahjoetomo, Dr.dr.,Perguruan Tinggi Pesantren,LP3ES,Yakarta,1994, Oleh Achmad Choirul Arifin
BAB II PEMBAHASAN A. Arti Pembentukan Akhlak Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Demikan pula ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama islam.[1] Namun sebelum itu masih ada masalah yang perlu kita dudukkan dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak? jika dapat dibentuk apa alasannya dan bagaimana caranya? Dan jika tidak, apa pula alasannya dan bagaimana selanjutnya? Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecendrungan kepada kebaikan atau fithrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cendrung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan (ghair muktasabah). Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian sebaliknya. Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaandan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat yang kedua ini umumnya datang dari Ulama-ulama Islam yang cendrung pada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain0lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah). Imam al-Ghazali misalnya mengatakan sebagai berikut : لَوْكَانَتِ اْلَاخْلَاقُ لاَ تَقْبَلُ التَّغَيُّرُ لَبَطَلَتِ الوَصَايَا وَالمَوَاعِظَ وَالتَأْدِيْبَاتُ وَلِمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَسِّنُوْا اَخْلَاقَكُمْ Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinyahadits nabi yang mengatakan “ perbaikilah akhlak kamu sekalian “. Pada kenyataan dilapangan, usaha-usaha pembinaan akhalak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapak, saying kepada sesame makhluk Tuhan dan seterusnya. Keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan, dan pendidikan, ternyata menjdi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina.[2] Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan dibidang iptek. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televise, internet dan lain-lain. Demikian pula produk obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistic dan hedonistic semakin menggejala. Semua ini jelas membutuhkan pembinaan akhlak. Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat. B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Menurut 3 Aliran Untuk menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat popular. Pertama aliran Nativisme. Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran konvergensi.[3] 1. Menurut aliran Nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecendrungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, da hal ini kelihatannyaerat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan. 2. Menurut aliran Empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah factor dari luar, yaitu lingkungan social, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan sianak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social. 3. Menurut aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan sianak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan social. Pendapat ini terdapat kesesuaian dengan ajaran islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat berikut yang artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.( Q.S. al-Nahl : 78) Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan luqmanul Hakim kepada anaknya sebagai terlihat pada ayat berikut yang artinya : “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS. Luqman : 13-14) Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Luqmanul Hakim, juga berisi materi pelajaran, dan yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak. Dengan demikian faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada anak ada dua, yaitu faktor dari dalam yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa sianak sejak lahir, dan factor dari luar yang dalm ini adalh kedua orang tua dirumah, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh serta pemimpin dimasyarakat. Melelui kerja sama yang baik antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif ( pengetahuan), efektif (penghayatan), psikomotorik (pengamalan) ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah manusia seutuhnya. C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlaq Secara Umum Dari pemaparan di atas dapat ditarik garis besar tentang faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlaq secara umum, yaitu: 1. Manusia Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan kelainan-kelainannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, memiliki kelebihan-kelebihan dan juga kekurangan-kekurangan tertentu. Bukan hanya berbada dengan makhluq lainnya, tetapi juga antara manusia itu sendiri mempunyai perbedaan, baik fisik maupun mental, yang membedakan manusia dengan makhluk lain terutama terletak pada akal budinya, dapat tertawa, mempunyai bahasa, dan kebudayaan, memiliki kekuasaan untuk menundukkan binatang, bertanggung jawab dan berilmu pengetahuan.[4] 2. Insting (Naluri) Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri (instink). Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli. Dalam bahasa Arab disebut “garizah” atau “fithrah” dan dalam bahasa inggris disebut instinct. Dalam hubungan ini, ahli-ahli psikologi menerangkan pelbagai naluri (instink) yang ada pada manusia yang menjadi pendorong tingkah lakunya, diantaranya : a. Naluri makan (nutritive instinct) : bahwa begitu manusia lahir telah membawa suatu hasrat makan tanpa didorong oleh orang lain. Buktinya begitu bayi lahir, begitu mencari tetek ibunya pada waktu itu juga dapat mengisap air susu tanpa diajari lagi. b. Naluri berjodoh (seksual instinct) : laki-laki menginginkan wanita dan wanita ingin berjodoh dengan laki-laki. Dalam Al-Qur’an diterangkan yang artinya: “Manusia itu diberi hasrat atau keinginan, misalnya kepada wanita, anak-anak dan kekayaan yang melimpah-limpah”. (Q.S. Ali-Imran : 14) c. Naluri Keibu bapakan (paternal instinct) tabiat kecintaan orang tua kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak kepada orang tuanya. Jika seorang ibu tahan menderita dalam mengasuh bayinya, kelakuannya itu didorong oleh naluri tersebut. d. Naluri Berjuang (combative instinct). Tabiat manusia untuk mempertahnkan diri dari gangguan dan tantangan. Jika seseorang diserang musuhnya, maka dia akan membela diri. e. Naluri Ber-Tuhan : Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya yang mengatur dan memberikan rahmat kepadanya. Naluri ini disalurkan dalam hidup beragama. 3. Adat/Kebiasaan Adat/Kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Abu Bakar Zikir berpendapat: perbutan manusia, apabila dikerjakan secara berulang-ulang sehingga mudah melakukannya, itu dinamakan adat kebiasaan. Sebagai contoh : a. Merokok adalah suatu kelakuan yang pada waktu pertama dilakukan tidaklah merupakan suatu kesenangan, malahan kadang-kadang menimbulkan pusing. Karena perbuatan tersebut diulang dan terus diulang akhirnya menjadilah kebiasaan yang menyenangkan. b. Bangun tengah malam mengerjakan shalat tahajjud, berat bagi orang yang tidak biasa. Tetapi jika hal it uterus diulangi akhirnya akan menjadi mudah dan terus menjadi kebiasaan yang menyenangkan. 4. Wirotsah (keturunan) Berpindahnya sifat-sifat tertentu dari pokok (orang tua) kepada cabang (anak keturunan). Sifat-sifat asasi anak merupakan pantulan sifat-sifat asasi orang tuanya. Kadang-kadang anak itu mewarisi sebagian besar dari salah satu sifat orang tuanya. Manusia mendapatkan warisan fisik dan mental, mulai dari sifat-sifat umum sampai kepada sifat-sifat khusus yang dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Manusia yang berasal dari satu keturunan dimana-mana membawa dari pokok-pokoknya beberapa sifat dan pembawaan yang bersamaan, misalnya bentuk badan, perasaan, akal, dan pemikiran. b. Dari sifat-sifat manusia yang umum menurunkan sifat-sifat khas kemanusiaan kepada keturunannya, maka kita dapati pula adanya rumpun, bangsa dan suku sebagai cabang dan ranting dari asal manusia tadi. 5. Lingkungan Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan seseorang atau suatu masyarakat adalah lingkungan (milieu). Milieu adalah suatu yang melingkungi suatau yang hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara dan lingkungan pergaulan manusia. Dalam hubungan ini lingkungan dibagi kepada dua bagian:[5] a. Lingkungan alam yang bersifat kebendaan b. Lingkungan pergaulan yang bersifat rohaniah 1) Lingkungan Alam Alam yang melingkupi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang. Lingkungan alam mematahkan atau mematangkan pertumbuhn bakat yang dibawa oleh seseorang. Jika kondisi alamnya jelek, maka hal itu merupakan perintang dalam mematangkan bakat seseorang, sehingga hanya mampu berbuat menurut kondisi yang ada. Sebaliknya jika kondisi alam itu baik, maka kemungkinan seseorang akan dapat berbuat lebih mudah dalam menyalurkan persediaan yang dibawanya lahir dan turut menentukan. Orang yang tinggal digunung-gunung dan dihutan-hutan, akan hidup sebagai pemburu atau petani yang berpindah-pindah, sedang tingkat kehidupan ekonomi dan kebudayaannya terbelakan, dibandingkan dengan mereka yang hidup dikota-kota. 2) Lingkungan pergaulan Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia harus bergaul. Oleh karena itu, dalam pergaulan akan saling mempengaruhi dalam fikiran, sifat, dan tingkah laku. Contohnya Akhlak orang tua dirumah dapat pula mempengaruhi akhlak anaknya, begitu juga akhlak anak sekolah dapat terbina dan terbentuk menurut pendidikan yang diberikan oleh guru-guru disekolah. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Akhlaq adalah sebuah perangai manusia yang bisa dirubah atau dibentuk untuk manjadi sebuah perangai yang baik, namun butuh waktu dan pembiasaan diri dalam proses tersebut. Untuk itu perlu adanya beberapa hal yang menjadi faktor – faktor penunjang yang dapat membantu perubahan akhlaq atau perilaku seseorang. 2. Beberapa faktor yang mempengaruhi Pembentukan Akhlak Menurut 3 Aliran yakni aliran filsafat natifisme, empirisme, dan konvergensi memiliki pandangan berbeda – beda sperti terurai di atas. Namun penulis berpendapat bahwa adanya korelasi yang sama pada aliran konvergensi, yakni pada dasarnya perubahan akhlaq atau perilaku seseorang tidak hanya adanya faktor yang ada pada dirinya sendiri atau internal melainkan juga adanya faktor dari luar yakni eksternal. 3. Ada 5 faktor yang menjadi pengaruh perubahan perilaku seseorang yakni manusia itu sendiri, instinc, adat, keturunan, dan lingkungan. Dari hal tersebut maka apabila seseorang ingin merubah suatu akhlaq pada dirinya maka hal yang terpenting baginya adalah memperhatikan dan membiasakan 5 perkara yang menjadi faktor penyebab perubahan akhlaq tersebut. B. Kritik dan Saran Demikian apa yang dapat penulis paparkan tentang Faktor – faktor yang mempengaruhi pembantukan akhlaq. Kami berharap apa yang telah kita simak dalam uraian di atas dapat memberikan manfaat pada kita semua. Dan akhirnya kami harapkan kritik dan saran guna memperbaiki karya – karya ilmiah kami selanjuntnya. DAFTAR PUSTAKA Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-akhlaq fi al-islam, Bandung: CV Pustika Setia, 1997. Magnis, Frans Von, Etika Dasar, Bandung: CV Pustika Setia, 1997. Jatnika, Rahmat, Sistem Etika, Semarang: Rasail Media Group, 2008. Ya’qub, Hamzah. (1988). Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV. Abdullah, M. Amin. (1995). Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I. [1] . Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-akhlaq fi al-islam, Bandung: CV Pustika Setia, 1997, hal 9. [2]. Ya’qub, Hamzah. (1988). Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar). Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV, hal 71. [3]. Jatnika, Rahmat, Sistem Etika, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hal 11. [4]. Magnis, Frans Von, Etika Dasar, Bandung: CV Pustika Setia, 1997, hal 14. [5]. Abdullah, M. Amin. (1995). Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I, Hal 35. Oleh Khoirul Mala Muzaky
TASAWUF DAN PROBLEM KEMODERNAN PSIKOLOGIS BAB I PENDAHULUAN Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut. Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik, manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya. Pada zaman modern, dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan seperti ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama langit yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki. Era modern ini juga ditandai dengan kemajuan di segala bidang pada kenyataanya malah memanjakan manusia. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia menjadi malas dan tidak sehat. Padahal di sisi kehidupan manusia yang tidak bisa di gantikan dengan mesin. Manusia menjadi terasing dengan dunianya sendiri, sehingga manusia kehilangan eksistensinya sebagai manusia yang multi dimensi. Selama ini manusia modern mementingkan dimensi materialnya daripada spiritualnya. Materi ini dijadikan segalanya dalam kehidupan manusia. Bahkan segala sesuatu seperti kebahagiaan dan kesuksesan hidup yang sebenarnya lebih terkait dengan psikologi kehidupan pun juga diukur materialistik. A. RUMUSAN MASALAH a. Bagaimana hubungan tasawuf dan psikologi? b. Apa problem-problem psikologis di era modernitas? c. Bagaimana peran tasawuf dalam mengahadapi problem psikologis di era modernitas? B. TUJUAN MASALAH a. mengetahui hubungan tasawuf dn psikologi b. mengetahui problematika psikologis di era modern c. mengetahui peran tasawuf dalam menghadapi problem psikologis di era modernitas BAB II PEMBAHASAN A. Hubungan Tasawuf dan Psikologi 1. Definisi Tasawuf Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Secara etimologi arti kata Tasawuf memiliki bermacam perkiraan asal kata. Diantaranya, ada yang mengatakan tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu sophos yang memiliki pengertian Hikmat. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari bahasa Arab dengan berbagai macam pandangan pula. Diantaranya al-Suffah (ahl al-Suffah) orang yang ikut bersama Nabi pindah dari kota Mekka ke Madinah, saf (barisan), sufi (suci), dan suf (kain wol). Kata ahl as-Suffah misalnya, menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa dan raga, tenaga, harta dan sebagainya hanya untuk Allah. Adapun pengertian tasawuf secara terminologi: upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari berbagai pengaruh kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf dapat diartikan sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Jadi, tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Tuhan pencipta alam semesta. 2. Definisi Psikologi Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos. Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi Psikologi dapat diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”. Secara terminologi, menurut Wilhem Wund Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran,, perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan, dan ingatan. Kemudian John Watson juga mempelopori pengertian psikologi yang lain yaitu Psikologi merupakan ilmu pengetahuan tentang perikaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Dalam wacana psikologi kontemporer, pengertian Jonh Watson inilah yang lazim di pakai, karena teori ini memandang bahwa semua organisme memiliki gejala kejiwaan. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakikat jiwa itu tidak dapat diketahui, yang dapat diketahui hanya proses, fungsi dan kondisi kejiwaan. Dalam kajian Psikologi Islam, sebagai induk dari cabang-cabang Ilmu psikologi dalam Islam, psikologi diartikan sebagai “Studi tentang jiwa”. Pengertian dianggap paling cocok dengan Psikologi Islam sebagai cabang ilmu mandiri yang masih berada pada proses awal dan memandang jiwa manusia sebagai jiwa yang khusus dan tidak sama dengan jiwa binatang. Jadi, psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku. Dalam percakapan sehari-hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan. 3. Hubungan Tasawuf dan Psikoogi Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi ini dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistik yaitu yang menolak teori dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan spiritual. Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi ditemukan persamaan yaitu Persamaan konsepsi tentang potensi dasar dan perkembangan jiwa manusia. Manusia yang sehat secara psikologis memiliki potensi yang bersifat kodrati maupun ruhaniah. Potensi ini dalam bahasa psikologi, dipandang mempunyai hubungan dengan tingkah laku psikologis, yang tercermin pada keterkaitan motivasi dengan perilaku yang ditampilkan. Dikalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disni adalah bahwa manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memilih dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsep tentang fitrah, memiliki kesamaan dengan pandangan Maslow ahli psikologi humanistik, dalam perspektif Maslow, dikendalikan bukan dikendalikan bukan oleh faktor eksternal dan kekuatan tak sadar, melainkan oleh potensi manusia sendiri yang bersifat kodrati. Kemungkinan ini terjadi karena setiap manusia secara biologis dan psikologis memiliki kodrati yang tidak dapat diganti atau dihilangkan. Dengan demikian, manusia memiliki peluang untuk berbuat kreatif sesuai dengan potensi kodrati yang ada dalam dirinya. Namun pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan. Menurut Maslow dalam teori motivasinya, asumsi optimistis tentang intrinsik manusia yang bersifat baik (kodrati), memandang sebagai corak biologis paling utama, yang secara umum menjadi spesies yang utuh, dan menjadi bagian individu dan unik. Ia memandang dasar atau diri ini sebagai dinamika untuk tumbuh dan beraktualisasi. Jadi, konsepsi tentang potensi dasar dan perkembangan jiwa manusia, dalam ajaran tasawuf dan psikologi mempunyai persamaan yang saling mempunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimna pilihan ini lah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri". (QS. Ar-Ra'd, 13/53). Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar. B. Problema Psikologis di Era Modern Ketika inovasi teknologi mempunyai tempat penting dalam masyarakat, inovasi juga membawa gaya hidup yang membahayakan. Pola-pola aktivitas manusia sebagian besar berkutat disekitar wacana. Mungkin wacana berfungsi sebagai medium penting dalam hubungan yang dijalin. Karena wacana berada dalam pasar terbuka, yang ditandai oleh kekacauan dan perubahan yang menyebar dengan cepat. Maka pola-pola tindakan manusia itu akan terus terjadi selamanya. Sebenarnya zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya, yaitu: a. Penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia b. Berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia. Manusia modern adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Semestinya manusia modern lebih bijak dan arif dengan kecerdasan dan teknologi, akan tetapi dalam kenyataanya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah disbanding kemajuan teknologi yang dicapainya. Akibat dari tidak keseimbangan ini kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Salah satu dertita manusia modern adalah manusia yang sudah kehilangan makna seperti ‘manusia dalam kerangkeng’. Ia resah setiap kali harus mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang diinginkan. Para sosiolog menyebutnya sebagai gejala keterasingan alienasi , yang disebabkan oleh: a. Perubahan sosial yang berlangsung cepat b. Hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi yang gersang c. Lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional d. Masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen e. Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial. Begitulah manusia modern, ia melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni keinginan orang lain sampai ia lupa kehendak sendiri. Gangguan Kejiwaan Manusia Modern Sebagai akibat problema moderinitas yang telah disebutkan maka manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain: a. Kecemasan Perasaan cemas yang diderita manusia modern bersumber dari hilangnya makna hidup. Sebagaimana fitrah manusia memiliki kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup dimiliki seseorang manakala ia memiliki kejujuran dan merasa hidupnya dibutuhkan oleh orang lain dan telah mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk orang lain. Sebagai contoh para pejuang yang memiliki dedikasi tinggi untuk apa yang ia perjuangkannya, ia sanggup berkorban, bahkan korban jiwa sekalipun. Meskipun yang dilakukan pejuang itu untuk kepentingan orang lain tetapi dorongan untuk berjuang lahir dari diri sendiri bukan untuk memuaskan orang lain. Adapun manusia modern justru tidak memiliki makna hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Segala yang dilakukannya adalah mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum tentu berprinsip yang mulia. Sehingga ia diperbudak untuk melayani perubahan. Karena merasa hidupnya tidak bermakna, tidak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda kegelisahan dan kecemasan yang berkepanjangan. b. Kesepian Sebagai akibat dari hubungan manusia yang gersang, di kalangan masyrakat modern yang tidak lagi tulus dan hangat. Manusia modern ini merasa sepi, meski ia berada ditengah keramaian. Ini disebabkan karena semua manusia modern menggukan topeng-topeng sosial untuk menutupi wajah kepribadiannya. c. Kebosanan Karena hidup tidak lagi bermakna, dan hubungan dengan manusia lain terasa hambar krena ketiadaan ketulusan hati, kecemasan yang selalu menganggu jiwanya dan kesepian yang berkepanjangan, menyebabkan gangguan kejiawaan yang berupa kebosanan. Kecemasan dan kesepian yang berkepanjangan akhirnya membuat bosan, bosan kepada kepura-puraan, kepada kepalsuan, akan tetapi tidak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan kebosanan tersebut. d. Perilaku Menyimpang Kecemasan, kesepian dan kebosanan yang diderita berkepanjangan menyebabkan seorang tidak tahu persis apa yang harus dilakukan. Dalam keadaan jiwa yang kosong dan rapuh ini seseorang tidak mampu berfikir jauh. Maka yang terjadi mudah sekali diajak atau dipengaruhi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan meskipun perbuatan itu menyimpang dari norma-norma moral. Misalnya terpengaruh dengan obat-obat terlarang. e. Psikosomatik Gangguan psikosomatik adalah gangguan jiwa yang dimanifestasikan pada gangguan susunan saraf vegetatif yang sebagian besar disebabkan oleh permusuhan,depresi, dan kecemasan dalam berbagai proporsi. Gangguan ini menggambarkan interaksi yang erat antara jiwa (psycho) dan badan (soma). Psikosomatik adalah gangguan fisik yang disebabkan oleh factor-faktor kejiwaan dan sosial. Seseorang jika emosinya menumpuk dan memuncak maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya goncangan dan kekacauan dalam dirinya. Penderita psikosomatik biasanya selalu mengeluh merasa tidak enak badan, jantungnya berdebar-debar, merasa lemah dan tidak bisa konsentrasi. Wujudd psikosomatik bisa dalam bentuk syndrom, trauma, stress, ketergantungan pada obat penenang/alkohol/narkotika atau perilaku menyimpang. Jadi, psikosomatik dapat disebut sebagai penyakit gabungan fisik dan mental. Yang sakit sebetulnya jiwanya tapi menjelma dalam bentuk sakit fisik. C. Peran Tasawuf dalam Menghadapi Problema Psikologis Sudah sejak awal bahwa tasawuf bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub ila Allah). Akan tetapi, ini menunjukkan betapa kita pada saat ini masih jauh dari-Nya, karena kita sekarang hidup di perantauan jauh dari asal dan tempat kembali kita yang sejati. Tasawuf bukan hanya menyadarkan kita akan keterpisahan dari sumber dan tempat kembali kita yang sejati. Tetapi juga sekaligus menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali. Dengan demikian tasawuf member kita arah dalam hidup kita. Dari ajaran para sufi, kita jadi paham bahwa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual, di samping fisiknya, yang memiliki asal-usul spiritualnya pada Tuhan. Dengan menyadari betapa manusia itu juga makhluk spiritual, maka lebih mungkin kita akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam memperlakukan diri kita. Dengan memperhatikan kesejahteraan, kebersihan dan kesehatan jiwa. Dalam menjawab problema psikologis, tasawuf mengajarkan tentang hidup bahagia. Hidup bahagia haruslah hidup sehat, karena orang yang tidak sehat alias sakit mungkin sekali tidak bahagia. Hidup sehat meliputi fisik dan jiwa. 1. Kesehatan Fisik Kesehatan fisik dalam ajaran tasawuf tergantung pada makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi harus sehat dan halal. Makanan dan minuman yang tidak sehat dapat menimbulkan penyakit, dan yang haram dapat mendorong kepada pembentukan karakter yang buruk merupakan cermin jiwa yang tidak sehat. Makanan haram bukan hanya babi dan minuman yang haram. Tetapi juga penghasilan yang diperoleh dengan cara haram, seperti hasil curian dan korupsi. Selain sehat dan halal, dalam tasawuf makanan dianjurkan lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan, serta sebaiknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, karena daging dapat membentuk karakter yang keras, padahal kita dianjurkan bersikap lemah lembut kepada sesama makhluk lainnya. Mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan juga sejalan dengan gerakan kembali ke alam (back to nature). 2. Kesehatan Jiwa Selain makanan dan minuman, ibadah seperti shalat, puasa dan dzikir juga ikut berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun jiwa. Shalat selain untuk beribadah ataupun melatih jiwa juga terdiri atas beberapa posisi tubuh yang masing-masing berdampak positif bagi kesehatan. Misalnya sujud, dengan posisi ini lutut yang membentuk sudut yang tepat memungkinkan otot-otot perut berkembang dan mencegah timbulnya kegembyoran di bagian tengah, menambah aliran darah ke bagian atas tubuh terutama kepala (termasuk mata, telinga dan hidung) dan juga paru-paru. Selain shalat, puasa juga mengandung manfaat bagi kesehatan. Puasa adalah berpantang dari makanan, minuman dan berhubungan seks mulai dari waktu imsak sampai maghrib. Dengan berpuasa, maka fungsi-fungsi tubuh diistirahatkan dan diberi peluang untuk segar kembali. Selama berpuasa kegiatan yang biasa dalam pencernaan dikurangi, sehingga memungkinkan tubuh untuk mengeluarkan bahan-bahan yang tidak berguna serta memperbaiki kerusakan akibat kesalahan pola makan yang berlangsung lama. Ibadah lain yang berdampak positif terhadap kesehatan adzikir. Dzikir berarti mengingat, menyebut atau mengagungkan Allah dengan mengulang-ngulang salah satu namanya atau kalimat keagungannya. Dengan dzikir, pikiran dan perasaan dapat menjadi tenang, sehingga orang akan hidup sehat, terhindar dari penyakit-penyakit yang biasa timbul dari gangguan jiwa, seperti stress. Dzikir juga akan membentuk akselerasi mulai dari renungan, sikap, aktualisasi sampai memperhatikan alam. Dzikir berfungsi untuk memantapkan hati, energi akhlak, terhindar dari bahaya dan terapi jiwa yang semua fungsi tersebut sangat diperlukan oleh manusia sekarang ini yang cenderung sekuler. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Tuhan pencipta alam semesta. Maka dari itu tasawuf sangat berperan penting dalam mengatasi problem psikologis yang terjadi di era modern ini, yang sudah kehilangan makna yang disebut keterasingan (alienasi) yang disebabkan oleh: Perubahan sosial yang berlangsung cepat, Hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi yang gersang, Lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional, Masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen, Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial. Dari problem tersebut, tasawuf menawarkan agar manusia modern kembali pada yang sejati, sebagai fitrah manusia sejak lahir yang dibekali nilai-nilai rohani atau spiritual dengan memperhatikan kesejahteraan, kebersihan dan kesehatan jiwa. B. KRITIK DAN SARAN Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata baik. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk memperkaya materi dan memperdalam pemahaman. Tak lupa ucapan ma’af dan terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal Mustaqim..Wallahu A’lamu Bi al-Shawab. DAFTAR PUSTAKA Graham, Heleb, Psikologi Humanistik (Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Sejarah), cet.1, Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/…/gangguan-p…/ di unduh pada pukul 22.15 WIB. Tanggal 14 Mei 2014. http://jannastudi.blogspot.com/…/konsep-alienasi-keterasing… di unduh pada pukul 21.36 WIB. Tanggal 14 Mei 2014. http://lutfisayonk.blogspot.com/…/tasawuf-dan-psikologi.html Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006. Khadziq, Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, cet.1, Semarang: RaSAIL, 2005. Madjid, Nurcholis, dkk, Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMaN dan Penerbit Hikmah, 2002. Mujib, Abdul CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Edisi 1 Cet.2., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Edisi. 1 Cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Suratman, Junizar, Spiritualitas dan Radikalisme dalam Perspektif Filsafat Agama, Padang: Puslit Press, 2011. Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003. Oleh Ach. Choirul Arifin
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin yang artinya dia datang sebagai penebar kasih sayang pada segenap umat manusia. Tidak hanya manusia tapi seluruh jagad raya beserta isinya. Islam dibawa secara estafet sejak dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang selalu menorehkan kisah perubahan yang indah di setiap zamannya. Namun belakangan ini Islam mendapati dirinya tidak seperti dulu lagi, dicela, dihina, diasingkan dan dikucilkan. Apa yang terjadi dengan Islam saat ini? Mengapa ia selalu dikambing hitamkan? Jawabnya adalah karena banyaknya orang yang salah dalam memahami karakter islam yang sesungguhnya, ditambah masuknya oknum-oknum luar yang sengaja masuk untuk mendoktrin para pemikir muslim, yang akhirnya setiap muslim membawakan islam sesuai keinginannya sendiri selama cocok dengan hawa nafsunya dengan bersembunyi dibalik dalil yang dianggapnya benar, atau dijadikannya sebagai alat pembenaran. Sehingga nilai-nilai hakiki sebagai islam rahmatan lil’alamin pun menjadi pudar dan hanya sekedar slogan dan maskot semata. Oleh karena itu dalam pembahasan “Karakteristik Agama Islam” ini, kami mengajak para pembaca yang budiman untuk sedikit membuka mata, hati, dan pikiran untuk menelaah lagi tentang pentingnya kita mengetahui karakter agama islam yang sesungguhnya. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang menjadi latar belakang pentingnya mengetahui karakter agama Islam tersebut di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: - Apakah karakter utama Agama Islam? - Apa cabang-cabang dari karakter utama Agama Islam? Tujuan - Memberikan informasi/ pengetahuan lebih mendalam tentang karakteristik agama Islam - Mempertebal keimanan sebagai seorang muslim yang baik Manfaat - Sebagai landasan untuk bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. BAB II PEMBAHASAN A. Karakter Utama Agama Islam ISLAM AGAMA YANG RAHMATAN LIL’ALAMIN Karakter dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sifat khusus yang dimiliki oleh suatu makhluk, kaum, atau seseorang. Dalam hal ini berarti kita berbicara tentang sifat yang menjadi ciri khas atau karakter yang ada pada agama islam. Sedangkan kata agama itu sendiri dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “tidak kacau” . Jadi dalam pembahasan ini bila disimpulkan berarti demikian “suatu sifat khusus yang dimiliki oleh system penggerak dan pengatur tatanan kehidupan yang diajarkan Islam”. Berbicara tentang karakteristik agama islam dari sekian banyak karakter yang ada dalam islam adalah bermuara dari satu karakter yang sangat fundamental dan darinyalah karakter-karakter yang lain terbentuk dengan sendirinya. Karakter inilah yang justru banyak kaum muslim lalai dan tidak merasakan keberadaannya. Karakter inilah yang membuat adanya peraturan-peraturan yang baik tercipta. Karakter utama itu adalah sesuai dengan firman yang disampaikan Allah SWT pada baginda Nabi Muhammad SAW: وما أرسلنا ك الا رحمة للعا لمين “dan tidaklah engkau kami utus kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107) Dalam ayat tersebut di atas memang pada dasarnya yang menjadi khithob atau lawan bicara dan makna ayat tersebut mengarah pada Nabi Muhammad SAW. Tetapi bila kita perdalam lagi kandungan maknanya maka akan kita temukan bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi seorang yang rahmatan lil’alamin (rahmat seluruh alam) adalah karena agama yang diperintahkan oleh Allah SWT itulah yang memiliki ajaran yang rahmatan lil’alamin. Agama islamlah yang mengajarkan kita untuk mengasih sayangi sesama. Dari sini jelaslah bahwa agama islam sama sekali bukan agama terror bukan agama yang mengajarkan umat untuk menakuti orang lain. Kemudian dari pangkal utama karakter agama islam yang rahmatan lil’’alamin ini bercabanglah karakter-karakter lain yang menjadi karakter pendukung di mana pokok tujuannya adalah menanamkan rasa kasih sayang/ rahmatan lil’alamin. B. Berbagai Karakter (cabang-cabang karakter utama) Agama Islam ISLAM AGAMA YANG SYAMIL (UNIVERSAL) Islam adalah agama yang syamil/ universal. Universal artinya umum. Sebagai contoh, konsep kemanusiaan adalah konsep yang dipercaya berlaku universal, sebab konsep ini dipercaya dimiliki oleh setiap manusia tanpa membedakan apakah manusia tersebut berkulit hitam atau berkulit putih. Dalam pembahasan ini berarti Agama Islam adalah agama yang bisa ditempatkan dalam berbagai bidang. Baik social, ekonomi, budaya, suku, bahkan dalam tatanan Negara atau kepemerintahan. Islam satu-satunya agama universal dan memiliki kesempurnaan di segala aspek yang dapat diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya. Islam satu-satunya ideologi yang dapat menuntun manusia untuk mencari kesempurnaan yang menjadi idamannya. Walaupun agama Islam merupakan agama terakhir tetapi di sinilah letak keutamaan dan kesempurnaan agama ini dibandingkan dengan agama-agama lainnya, baik itu agama samawi yang turun dari Allah maupun agama atau jalan hidup yang lahir dari ide dan pengalaman spiritual seseorang. Islam datang sebagai penyempurna bagi agama-agama yang telah datang sebelumnya. Dan Rasulullah sebagai pembawa dan pengemban risalah Ilahi merupakan nabi terakhir yang setelahnya tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul. Allah berfirman dalam surat al-Maidah yang masyhur sebagai ayat yang terakhir turun: “Hari ini telah aku sempurnankanbagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan segala nikmatku kepadamu dan akupun ridha Islam sebagai agamamu. ” (Qs. al-Maidah [5]:3) Ayat ini menyiratkan bahwa sejak hari itu, setelah segala perintah dan hukum-hukum Allah kurang lebih selama 23 tahun lamanya secara sempurna sampai kepada Rasulullah maka tugas dan risalah Rasulullah pun berakhir. Artinya era kenabian atau nubuwah telah berakhir dan era baru telah dimulai yaitu era wilayah yang berfungsi sebagai penjaga dan penafsir syariat Rasulullah. Ayat ini banyak dibicarakan dan dibahas oleh para mufassir dari kedua kelompok (Syiah dan Sunni), sebab ayat ini memiliki posisi yang sangat penting dan krusial dalam kelangsungan aqidah dan keyakinan, di sini kita tidak akan mengulas panjang lebar ihwal ayat ini. Bagi mereka yang menarik untuk menelaah kandungan atau asbabun nuzulnya dan bagi yang ingin tahu secara panjang lebar tentang ayat ini, kami persilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir atau buku yang secara terpisah dan khusus mengupas ayat ini. Oleh karena itu, dengan sifat kesempurnaan yang dimiliki oleh Islam maka ia mampu menjawab segala tantangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia, tidak ada suatu masalah dan problem kehidupan kecuali Islam mampu menjawab dan memberikan solusi untuknya. Islam sebuah agama yang tidak membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lainnya, di mata Islam semua manusia adalah sama, tidak terdapat perbedaan jasmani antara satu dengan yang lainya. Kulit putih sama dengan orang kulit hitam, orang Arab sederajat dengan non-Arab, Si kaya sama posisinya dengan si miskin, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan tingkatan, tetapi Islam membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah dimana meninjam istilah teknis filsafat, manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Semakin dekat ia dengan sumber wujud (Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan dan ketaqwaannya. Berbeda dengan agama-agama yang lainnya, dimana syiar dan kenyataannya sangat jauh berbeda. Perbedaan dan diskriminasi begitu sangat mencolok, manusia dinilai dari segi lahiriahnya, semakin tinggi tingkat sosialnya maka semakin mendapat tempat dan posisi dalam agama tersebut. Tempat-tempat ibadah dapat menjadi contoh yang sangat jelas tentang hal ini. Orang kaya, pejabat dan pemuka masyarakat memilki posisi yang utama di dalam tempat-tempat ibadah dan orang miskin dan masyarakat yang memilki derajat rendah harus rela untuk menempati tempat yang sederajat dengan keadaan mereka. Tetapi di dalam agama Islam hal ini tidak terlihat, siapa saja bisa menempati tempat yang diinginkannya, tidak terjadi dikotomi strata sosial. ISLAM AGAMA YANG PENUH TASAMUH (TOLERANSI) Islam sebagai agama yang penuh tasamuh. Tasamuh adalah sikap tenggang rasa terhadap sesama dalam masyarakat dimana kita berada. Tasamuh yang juga seriang disebut toleransi dalam ajaran Islam adalah toleransi sosial kemasyarakatan, bukan toleransi di bidang aqidah keimanan. Dalam bidang aqidah keimanan, seorang muslim meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar yang diridhoi Allah SWt. إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ "Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanya Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi AlKitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka. barang siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” ( Ali Imron 19) Makna tasamuh adalah sabar menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain, pendapat-pendapat mereka dan amal-amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan batil menurut pandangan, dan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya. Asas ini terkandung dalam banyak ayat Al-Qur'an diantaranya, "Dan janganlah kalian mencela orang-orang yang berdo'a kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dengan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu Dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan". (QS.Al-An'am:108) Sikap yang menganggap bahwa semua agama adalah benar tidak sesuai dengan keimanan seorang muslim dan tidak relevan dengan pemikiran yang logis, meskipun dalam pergaulan kemasyarakatan Islam sangat menekankan prinsip tasamuh. Setiap muslim diperintahkan untuk bersikap tasamuh terhadap orang lain yang berbeda agama atau berbeda pendirian. Perbedaan pendapat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dalam masyarakat sudah menjadi ketentuan Allah yang diberikan kepada setiap individu manusia. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah s.a.w, tasamuh telah ditampakan pada masyarakat Madinah. Pada saat itu Nabi dan kaum muslimin hidup berdampingan dengan masyarakat Madinah yang beragama lain. Tasamuh atau sikap tenggan rasa dapat memelihara kerukunan hidup dan memelihara kerja sama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Tasamuh berfungsi sebagai penertib, pengaman dan pendamai dalam komunikasi dan interaksi sosial. ISLAM AGAMA YANG TAWASSUTH (MODERAT) Islam tidak datang sebagai agama yang ekstrim atau pun juga teledor. Tapi Islam adalah agama yang Tawassuth, yakni sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT. Dengan konsep yang benar-benar indah Islam mengajarkan kita untuk mengambil tengah-tengah dalam segala perkara. Artinya dalam kegiatan apapun kita tidak diperkenankan untuk terlalu berlebihan meskipun perkara itu adalah perkara yang baik. Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda “Sebaik-baiknya perkara adalah yang pertengahannya”. Demikian pula dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143). ISLAM AGAMA YANG TAWAZUN (SEIMBANG) Di antara karakter Islam adalah Tawazun berarti seimbang atau memberikan sesuatu akan haknya. Tanpa ada penambahan dan pengurangan. Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Hal ini menjadi isyarat bagi manusia untuk hidup dalam keseimbangan pula. Keseimbangan hidup akan dicapai jika manusia hidup sejajar dengan fitrahnya. Hidup seimbang harus diciptakan. Kemampuan itu akan tumbuh dari buah pengetahuan terhadap hakikat sesuatu dan pengetahuan terhadap batasan-batasan, tujuan-tujuan serta manfaat dari sesuatu itu. Islam mengajarkan hidup yang seimbang, karena Islam sendiri merupakan agama ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah. Mustahil Allah menciptakan agama untuk manusia yang tidak sesuai dengan fitrahnya. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah…” (Q.S Ar Rum : 30) Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (agama tauhid : al Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Seandainya pun ada manusia yang tidak beragama tauhid, biasanya diakibatkan pengaruh lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. “Tiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. ISLAM AGAMA YANG I’TIDAL (ADIL) Islam bukanlah agama yang radikal, ekstrim atau pun semena-mena tapi Islam adalah agama yang I’tidal yakni tegak lurus. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8). Hidup akan terasa semakin harmonis bila suatu konsep kehidupan betul-betul memperhatikan adanya keadilan. Dengan adanya konsep keadilan yang ada dalam tubuh ajaran islam ini menunjukkan betapa besarnya rasa kasih sayang yang diajarkan oleh Islam. Dan inilah yang dicontoh oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari bersama para sahabat. ISLAM AGAMA YANG KAMIL (SEMPURNA) Islam merupakan agama yang sempurna, berarti lengkap. Menyeluruh dan mencakup segala hal yang diperlukan bagi panduan hidup manusia. Sebagai petunjuk/ pegangan dalam hidupnya. Sehingga bisa menjalani hidup baik, teratur dan sejahtera, mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Syumul atau universalitas yang ada di dalamnya merupakan salah satu karakter islam yang sangat istimewa jika dibandingkan dengan syari’at atau peraturan yang dibuat oleh manusia. Kelengkapan ajaran Islam meliputi: 1. Bidang Aqidah/ keyakinan 2. Bidang Ibadah 3. Bidang Akhlaq 4. Bidang Hukum/ syari’ah 5. Bidang Aspek kehidupan Allah SWT berfirman yang artinya: “hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku rela Islam sebagai agama kalian” (QS. Al-Maidah, ayat 3) BAB III KESIMPULAN 1. Islam merupakan Agama yang Rahmatan Lil’alamin yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam sekaligus menjadi karakter utama yang ada dalam ajarannya. 2. Islam memiliki berbagai karakter yang merupakan cabang dari karakter utama yang sesuai dengan fitroh setiap makhluk ciptaan Allah, di antaranya: o Islam sebagai agama yang syamil (universal) o Islam sebagai agama yang penuh tasamuh (toleransi/ tenggang rasa) o Islam sebagai agama yang tawassuth (moderat) o Islam sebagai agama yang tawazun (seimbang) o Islam sebagai agama yang I’tidal (adil) o Islam sebagai agama yang kamil (sempurna) PENUTUP Demikian yang dapat kami paparkan mengenai pembahasan Karakteristik Agama Islam yang menjadi bahan materi makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena kurangnya rujukan atau referensi yang ada. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca yang budiman untuk meningkatkan kesempurnaan kami dalam membuat makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah karya kecil kami ini menjadi bermanfaat bagi para pembaca yang budiman, amiiin. DAFTAR PUSTAKA - Al-Qur’anul Karim - Tafsir Jalalain - Tafsir Al-Showi - Al-Jami’ Al-Shoghir - Abduh, syekh Muhammad 1976. Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang. - Syaifulloh M. Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi Surabaya: Grasindo - http://aljamaah.net/?p=916 - http://www.nu.or.id/a,public-m Oleh Muhamnad Shodiq
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap hari kecanggihan teknonologi semakin meningkat. Segala kebutuhan hidup pun menjadi terasa semakin lebih mudah dan efisien. Berbeda dengan era kehidupan pada zaman dahulu, manusia cenderung dituntut untuk bisa dan harus mau berusaha dan berjerih payah hanya untuk melakukan hal kita pandang pada zaman ini sebagai perkara yang mudah. Berbagai fasilitas pun dibuat dan diciptakan, guna memenuhi kebutuhan dan mempermudah dalam melakukan pelbagai aktifitas. Sampailah manusia pada zaman sekarang pada titik pemanjaan, yang pada akhirnya membentuk sebuah karakter manusia yang pasif dan tidak mau berusaha. Sering kita lihat, banyaknya fenomena – fenomena yang sebenarnya bertentangan hati nurani kita. Namun itulah kenyataan yang ada, bahwa dengan semakin mudahnya fasilitas hidup, rasa manja semakin tinggi dan ujung – ujungnya membuat pribadi seorang manusia yang pemalas. Hal ini disebabkan, karena rentetan fasilitas teknolgi yang pada akhirnya menawarkan janji – janji semu, membuat seseorang menjadi terpalingkan dari maksud dan tujuannya dalam melaksanakan aktifitas sehari – hari. Maka dalam karya ilmiah yang mungil ini, kami ingin mengajak saudara yang budiman, untuk sedikit memperhatikan dan selanjutnya mewaspadai, akan dampak negatif yang disebabkan penyalahgunaan kecanggihan teknologi. Lewat sebuah tema yang kami angkat dari sebuah penelitian, di sebuah lembaga Pendidikan Diniyah Awaliah BUSTANUL ULUM Desa Banyu Putih Kecamatan Jatiroto Kab. Lumajang, dengan judul “Kecanggihan Alat Teknologi Bisa Memicu Kemalasan”. Semoga karya ilmiah kecil ini menjadi bermanfaat bagi kita semua. Amiiin… . Rumusan Masalah Sesuai dengan yang telah terurai dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: - Apakah manfaatnya kecanggihan alat teknologi? - Apa dampak negatifnya secara umum bagi kinerja atau aktifitas sehari - hari? - Apa dampak negatifnya bagi santri/ murid? - Apa solusinya dalam hal ini? Tujuan Memberikan informasi/ pengetahuan lebih mendalam tentang Kecanggihan Teknologi yang bisa memicu kemalasan, dalam hal ini meliputi: - Manfaatnya kecanggihan alat teknologi. - Dampak negatifnya secara umum bagi kinerja atau aktifitas sehari – hari. - Dampak negatifnya bagi santri/ murid - Solusi yang terbaik dalam menanyikapi kecanggihan alat teknologi BAB II PEMBAHASAN KECANGGIHAN ALAT TEKNOLOGI BISA MEMICU KEMALASAN Manfaat Kecanggihan Alat Teknologi Para pembaca yang budiman, sering kita saksikan di kanan kiri kita, betapa kecanggihan teknologi semakin maju dan berkembang. Setiap bangsa dan negara berlomba – lomba menjadi yang terbaik sebagai negara pelopor suatu teknologi tercanggih. Hal ini dapat mempermudah kita dalam menyelesaikan suatu kebutuhan atau suatu masalah dalam hidup, dan ini adalah manfaat utama yang menjadi dasar utama diciptakannya pelbagai alat atau sarana dengan teknologi canggih. Sebagai contoh, misalnya kita ingin mengetahui informasi apa yang terjadi di luar negeri saat ini, maka kita pun bisa tahu saat ini melalui media informasi yang kita sebut televisi, koran, atau radio. Kita ingin memberikan informasi atau bertanya suatu kabar atau perkara dari seseorang yang berada di posisi yang sangat jauh, kita bisa menyelesaikannya lewat media telekomunikasi yang kita sebut telepon atau hand phone. Bahkan apabila kita hendak berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang sangat jauh sekalipun, kita dapat melakukannya dengan mudah melalui media transportasi yang kita sebut dengan kendaraan dengan berbagai jenisnya. Dan masih banyak lagi macam – macam alat teknologi dengan kecanggihannya dan dengan kegunaannya masing – masing. Yang pada intinya kecanggihan teknologi bermanfaat memberikan fasilitas kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari – hari. Dampak Negatif Kecanggihan Alat Teknologi Secara Umum Bagi Kinerja atau Aktifitas Sehari – hari Teknologi canggih dengan segala kelebihannya tetap memiliki sisi – sisi kekurangan. Hal ini disebabkan karena teknologi canggih itu adalah buatan manusia, yang pada kodratnya manusia adalah tempat lupa dan kesalahan. Dan inti dari pembahasan kita saat ini adalah focus pada dampak negatif, yang menjadi sisi kekurangan alat atau teknologi canggih itu sendiri. Secara umum, dampak negatif yang dimiliki alat berteknologi canggih, entah berupa apa pun namanya, dapat membuat rasa malas semakin meningkat. Seperti contoh dalam hal ini, kita yang telah terbiasa melakukan aktifitas dari suatu tempat ke tampat yang lain dengan fasilitas kendaraan seperti sepeda motor atau mobil, maka kita terkadang sering sekali enggan untuk melakukan aktifitas dikala kendaraan tersebut tidak dapat digunakan dengan alasan satu dan lain hal. Enggan untuk sedikit berjalan kaki, menuju suatu tempat yang tidak begitu jauh sebenarnya. Seorang manager perusahaan akan sangat merasa berat sekali bila disuruh naik melewati tangga ke lantai 4 dari tempat ia bekerja di perusahaan, di saat liftnya mengalami kemacetan. Seorang muadzin akan merasa berat sekali untuk mengumandangkan adzan di atas menara dengan berteriak keras di saat listrik atau pengeras suara mengalami kerusakan. Bahkan seorang dokter tidak akan mau melakukan pengecekkan detak jantung dengan telinga disaat stetoskopnya rusak atau bermasalah. Dan berbagai macam contoh yang lain yang sering kita temukan di sekeliling kita. Ini adalah bukti dampak negatif yang dihasilkan oleh kecanggihan teknologi. Dampak Negatif Kecanggihan Alat Teknologi bagi santri/ murid Sebagaimana terurai di atas bahwa secara umum kecanggihan suatu alat teknologi dapat memicu rasa malas, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar apabila hal itu terjadi di tengah seorang pelajar atau seorang santri. seorang santri yang telah terpengaruh oleh lingkungan yang salah, yang mana sekelilingnya banyak memberikan fasilitas hiburan play station misalkan, maka dia akan cenderung menikmati bermain play station ketimbang belajar di rumah menelaah pelajaran yang telah diajarkan. Membuang waktu berjam – jam tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa sayang, yang penting dia merasa senang dengan hiburan itu sendiri. Rasa penting untuk belajar pun memudar. Seperti yang telah kami lakukan dalam penelitian terhadap suatu madrasah diniyah di tempat kami mengajar, fakta – fakta yang terjadi sangat memilukan. Di mana seorang santri pada zaman sekarang lebih terobsesi dengan gaya hidup yang sudah sulit kita bendung. Hal ini adalah dampak dari alat teknologi yang semakin memanjakan kehidupan mereka. Lebih – lebih seorang santri yang selalu tergila – gila dengan kecanggihan alat komunikasi berupa HP misalkan, maka akan sangat nampak sekali perubahan gaya hidupnya dibandingkan dengan sesama santri lain yang tidak suka bermain HP. Dia akan lebih mudah terpengaruh pada hal – hal yang bersifat duniawi. Pada saat itu dia akan sangat merasa malas untuk belajar dan menelaah pelajaran. Basis karakter seorang santri adalah seorang anak yang rajjin dan taat beribadah, taat pada printah ustadz/ kyai baik di depan atau di belakangnya, tidak suka melakukan hal – hal yang sia – sia belaka. Namun karena kecanggihan alat teknologi yang telah memanjakan mereka dan berhasil merong – rong dalam benak pikiran mereka, maka sedikit demi sedikit karakter khas seorang santri itu pun menghilang. Solusi Yang Terbaik Dalam Menanyikapi Kecanggihan Alat Teknologi Mengingat betapa pentingnya fasilitas hidup yang memberikan kemudahan, dalam hal ini kita tidak bisa pungkiri bahwa kita sangat merasa diuntungkan dengan kecanggihan alat teknologi, karena perannya yang sangat penting dalam membantu kehidupan sehari – hari. Namun demikian kita harus meletakkan suatu perkara pada porsinya masing – masing. Sebagai solusi, marilah kita gunakan kecanggihan alat teknologi ini sebaik – baiknya bukan seenaknya. Dalam arti kita gunakan seperlunya saat kita membutuhkannya, dan kita simpan saat tidak membutuhkannya. Dan jauhkan dari siapa saja yang dirasa belum layak untuk menggunakannya. Dengan demikian, maka akan berkurang hal – hal yang tidak kita inginkan dari dampak negatif yang memicu kemalasan, lebih – lebih bagi seorang santri yang sedang menimba ilmu agama. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Kesimpulan dari pembahasan ini adalah: 1. Manfaat kecanggihan alat teknologi adalah dapat membantu kita sekaligus mempermudah dalam menyelesaikan masalah dan kebutuhan sehari – hari. 2. Dampak negatif kecanggihan alat teknologi secara umum dalam kinerja sehari – hari adalah, menimbulkan rasa malas yang tinggi di saat kita dituntut untuk melakukan suatu aktifitas yang tidak didukung oleh alat tersebut. 3. Dampak negatif kecanggihan alat teknologi bagi santri, mengurangi semangat belajar karena kemalasan yang lebih mendominasi akibat termanjakan oleh kecanggihan alat teknologi. 4. Solusi yang terbaik dalam menanyikapi kecanggihan alat teknologi adalah memberikan fasilitas tersebut pada porsinya masing – masing yang dirasa layak menggunakan fasilitas alat tersebut. KRITIK DAN SARAN Demikian yang dapat kami paparkan mengenai pembahasan Kecanggihan Alat Teknologi Bisa Memicu Kemalasan yang menjadi bahan materi makalah ini. tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan. Karenanya kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca yang budiman untuk meningkatkan kesempurnaan kami dalam membuat makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah karya kecil kami ini menjadi bermanfaat bagi para pembaca yang budiman, amiiin… . DAFTAR PUSTAKA - Metodik Khusus Pendidikan Agama. Zuhaerini, 1983. Surabaya : Usaha Nasional. - Ilmu Pendidikan Islam, 1994. Dr. Ramayulis Oleh Shodiq
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bergulirnya waktu, seiring dengan berkembangnya zaman dari masa ke masa. Berkembang pula bersamanya sebuah peradaban manusia, yang di dalamnya kita harus bisa mengimbangi dan menyesuaikan dengan beradaptasi sesuai dengan tuntutan zaman. Sebuah kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk bisa membangun mansyarakat yang madani, adil, dan makmur. Untuk itu dibutuhkannya sebuah pemberian hak rakyat bangsa Indonesia sesuai dengan porsinya masing-masing. Para pembaca yang budiman, maka dari itu dalam makalah kecil kali ini, penulis ingin mengajak anda untuk sedikit menilik lagi tentang hak-hak yang harus diberikan kepada seluruh rakyat bangsa Indonesia. Dengan mengambil tema “Perkembangan HAM dan Gender di Indonesia”. Harapan kami semoga makalah kecil ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Amin ya Robbal ‘alamin… . B. Rumusan Masalah Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan beberapa rumusan masalah pembahasan ini, yaitu: - Apa pengertian HAM? - Bagaimana perkembangan HAM? - Apa pengertian gender dan hal – hal yang berkaitan dengannya? C. Tujuan Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan wawasan informasi mendalam tentang: - Pengertian HAM - Perkembangan HAM - Pengertian gender dan hal – hal yang berkaitan dengannya BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian HAM Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asai, dan manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia.[1] Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut maka mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Menurut Prof. Darji Darmodiharjo, S. H. mengatakan : hak – hak asasi manusia adalah dasar atau hak – hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak – hak asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban yang lain. John Lock menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang maha pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut Hak Asasi Manusia. Ia adalah hak dasar dari setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang maha esa bukan pemberian manusia ataupun lembaga kekuasaan. Setiap orang berhak untuk mempertahankan hak asasinya masing-masing agar tidak diganggu oleh orang lain.[2] B. Sejarah Perkembangan HAM Kalangan ahli HAM menyatakan bahwa konsep ini bermula dan berkembang di Eropa baru kemudian merambah ke Negara-negara lain. Untuk melacak embrio dan sejarah perkembangan konsep HAM, perlu dijelaskan sejarah Hak Asasi Manusia. Meskipun HAM baru dideklarasikan pada tahun 1948, namun embrionya sudah ada mulai sejak zaman sebelum masehi. Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindugan dan jaminan diakuinya Hak Asasi Manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan social control kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.[3] Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut: Magna Charta Pada awal abad ke-XII, Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan Raja John yang sewenang-wenang tersebut mengakibatkan ketidakpuasan para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Piagam ini dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya adalah memuat pembatasan kekuasaan Raja dan Hak Asasi Manusia lebih penting daripada kedaulatan Raja.[4] Namun yang paling terkenal dalam sejarah HAM di Inggris adalah Bill of Rights. Ini adalah undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris. Bill of Rights dipandang oleh banyak pengamat sebagai Undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia karena didalamnya memuat persamaan manusia didepan hukum. Undang-undang tersebut juga sebagai permulaan pemikiran Negara Hukum.[5] Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk social ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi Hak Asasi Manusia (Commission of Human Rights). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru dua tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 negara yang terwakil dalam siding umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan dua Negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.[6] Adapun pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi Manusia yaitu diantaranya: · Hak asasi pribadi (Personal Rights) · Hak asasi politik (Political Rights) · Hak asasi ekonomi (Property Rights) · Hak asasi peradilan (Procedural Rights) · Hak asasi social budaya (Social Culture Rights) Dalam pembahasan HAM ini ada beberapa hal yang perlu kami paparkan di sini, yaitu Nilai – nilai HAM, Pandangan Islam, Undang – undang HAM, dan Pelanggaran HAM. Dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai HAM Nilai-nilai HAM berlaku di semua tempat. Dengan demikian pemahaman dan pengakuan terhadap nilai- nilai HAM berlaku sama dan universal bagi semua bangsa dan Negara. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua pandangan dalam melihat relativisme nilai-nilai HAM yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai-nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang didasari oleh budaya local atau lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakuinya adanya nilai-nilai HAM yang bersifat particular dan universal. Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Jadi, hanya mengakui nilai-nilai Hak Asasi Manusia universal.[7] 2. HAM dalam Pandangan Islam Islam adalah agama yang sempurna, karena di dalam ajarannya sudah tercakup semua tuntunan ideal bagi kehidupan manusia di dunia agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Meskipun istilah HAM belum dikenal ketika Islam turun pada masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi, namun prinsip-prinsip penghormatan dan penghargaan pada manusia dan kemanusiaan sudah diajarkan Islam secara tegas.[8] Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, jenis gender, dan ikatan primordial lainnya. Salah satu bentuk penghormatan kepada manusia adalah menjaga kelangsungan hidupnya, nyawanya tidak boleh dihilangkan (Q.S An-Naml [27]: 33; al-Maidah [5]: 32), juga fisik dan psikisnya tidak boleh disakiti untuk alasan apapun (Q.S al-Maidah [5]: 45). Semua manusia harus mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan tanpa pembedaan.[9] 3. HAM dalam Perundang-undangan Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional, dan sebelumdeclaration of human right ada, Indonesia telah dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap perlindungan dan pemajuan HAM sebagaimana dinyatakan dalam mukaddimah UUD 1945 yang berbunyi: “ Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.[10] Baru setelah 54 tahun merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang tentang HAM, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. 4. Pelanggaran HAM Pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Ada pandangan bahwa apa yang dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat adalah sesuatu yang langsung mengancam kehidupan atau integritas fisik seseorang. Ada kualifikasi yang menyatakan suatu pelanggaran HAM masuk kategori berat atau bukan, didasarkan juga pada sifat kejahatan, yaitu sistematis dan meluas. Sistemastis dikonstruksikan sebagai suatu kebijakan atau rangkaian tindakan yang telah direncanakan. Sementara itu, meluas menunjuk pada akibat tindakan yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan yang parah secara luas.[11] Pada saat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mulai berlaku, dibentuklah Pengadilan HAM di beberapa daerah yang daerah hukumnya berada pada Pengadilan Negeri.[12] C. Pengertian Gender Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia secara sosial budaya dan fisik biologis.[13]Namun, selain R. Stoller, pada tahun 1972 Ann Oakley mengutarakan pendapatnya dalam sebuah buku yang mengatakan gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Jadi pengertian gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.[14] Jika kita melihat tentang perbedaan gender yang terjadi saat ini maka akan muncul beberapa masalah yang diakibatkan oleh gender dan lebih mengarah bagi para kaum hawa. Masalah-masalah yang muncul akibat gender bagi para kaum wanita antara lain adalah: a. Marginalisasi Marginalisasi adalah suatu proses yang mengakibatkan kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor diantaranya adalah bencana alam, konflik bersenjata penggusuran atau proses eksploitasi. Dan dalam masalah ini pengaruh terhadap kaum perempuan didominasi karena faktor gender. b. Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat dari pandangan gender terhadap kaum perempuan. Saat ini masyarakat selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, akibatnya akses dan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang pembangunan terbatas. c. Stereotipe Suatu pelabelan/ penandaan negatif terhadap kaum perempuan oleh masyarakat yang selalu membuat pihak perempaun selalu dirugikan. Dampak dari stereotipe itu sendiri diantaranya adalah menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan juga merugikan para kaum perempuan. d. Violence ( Kekerasn) Violence adalah invasi atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Violence terhadap perempuan kerap terjadi karena stereotipe gender. Pada dasarnya hal ini dapat terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dalam masyarakat. e. Beban ganda Beban ganda adalah suatu pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan salah satu pihak saja. 1. Isu Gender Dalam Islam Didalam agama Islam sendiri juga terjadi beberapa masalah mengenai gender itu sendiri. Ketimpangan sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan masih sering dipertahankan dengan dalili-dalil agama. Dalil-dalil agama sering kali dijadikan sebagai dalih untuk menolak kesetaraan gender, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (publik-domestik). Berikut ini dipaparkan beberapa prinsip kesetaraan gender dalam Islam yang seharusnya dilihat: 1. Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Hamba Allah Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai kadar pengabdiannya, sebagaimana dinyatakan surat An-Nahl/16:97, sbb: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. 2. Laki-Laki Dan Perempuan Sebagai Khalifah di Muka Bumi Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-An’am/6:165, sbb: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 3. Laki-Laki Dan Perempuan Menerima Perjanjian Allah Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian dari Tuhan. Sebelum anak manusia keluar dari rahim ibunya, terlebih dahulu harus menerima perjanjian dari Allah dan berikrar akan keberadaan-Nya sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-A’raf/7:172, sbb: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". 4. Laki-Laki Dan Perempuan Sama-Sama Berpotensi Meraih Prestasi Peluang meraih prestasi maksimum dimiliki setiap laki-laki maupun perempuan tanpa ada pembedaan. Islam menawarkan konsep kesetaraan gender yang ideal dengan memberi ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karir profesional tidak harus dimonopoli salah satu jenis kelamin, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali-Imran/3:195, sbb: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. 2. Pendidikan Berkeadilan Gender Ada beberapa fungsi dan tujuan mempelajari gender. Diantaranya adalah berfungsi untuk menurunkan atau mentransformasikan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang kedua juga dapat berfungsi untuk mengubah perilaku ke arah yang lebih baik. Dan yang selanjutnya dengan mempelajari gender seharusnya kita dapat berfikir bahwa sebernarnya antara orang-orang yang maskulin dan yang feminim itu memiliki potensi SDM yang sama. Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa dengan mempelajari gender maka kita akan menjadi lebih mengerti secara detail tentang keadilan gender dan bagaimana batas-batasan memebedakan seorang laki-laki dan perempuan dalam hak asasi manusia. 3. Isu Gender dalam HAM Hingga saat ini banyak masyarakat yang menggap Islam adalah agama yang selalu meletakkan perempuan dibawah laki-laki. Padahal jika melihat islam secara historis dan juga melihat asbabul nuzul dari ayat-ayat Al-Quran, maka kita akan paham ayat-ayat Al-Quran diturunkan selalu dengan sebuah alasan sehingga tidak ada pihak yang saling menyalahkan suatu pemikiran tertentu. Salah satu contohnya mengenai Hak Waris. Dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa’ ayat 11 tertulis “Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian harta warisan) bagi anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah dua dan bagian perempuan satu”. Jika kita melihat disaat peradaban Islam muncul, anak perempuan adalah suatu hal yang tak pernah mereka inginkan. Bahkan mengubur hidup-hidup bayi perembuan adalah hal yang wajar. Jadi memberi seorang anak perempuan adalah dianggap sebagai suatu hal yang sangat adil saat itu.[15] Walaupun sebenarnya surat An-Nisa’ 11 adalah sebuah ukuran batas maksimal dan minimal sebuah pembagian waris itu sendiri. Karena apa? Sebenarnya tentang pemberian waris sendiri sudah dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 7. Dari sini sudah dapat terlihat bahwa dalam Al-Quran udah dijelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sama, hanya para masyarakat banyak yang salah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tersebut. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengertian HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. 2. Perkembangan HAM dari masa ke masa menurut kalangan ahli HAM menyatakan bahwa konsep ini bermula dan berkembang di Eropa baru kemudian merambah ke Negara-negara lain. Untuk melacak embrio dan sejarah perkembangan konsep HAM, perlu dijelaskan sejarah Hak Asasi Manusia. Meskipun HAM baru dideklarasikan pada tahun 1948, namun embrionya sudah ada mulai sejak zaman sebelum masehi. 3. Pengertian gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Dan hal – hal yang berkaitan dengan gender di antaranya isu gender dalam Islam, pendidikan berkeadilan gender, dan isu gender dalam HAM. B. Saran Mengingat keterbatasan kami dalam membuat makalah ini, maka kami harap saran membangun dari para pembaca yang budiaman. Dan akhirnya semoga karya kecil ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiin… . DAFTAR PUSTAKA Anam, Khoirul, 2011, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakart: Inti Media. Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti Kebijakan Publik Pro Gender. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. El-Muhtaj, Majda, 2002, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Mufidah, 2010, Isu-isu Gender Kontenporer dalam Hukum Keluarga. Malang: UIN-Maliki Press. Mulia, Musdah, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi.Yogyakarta: Naufan Pustaka. Marzuki, Suparman, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia. Jakarta: Erlangga. Nugroho, Riant, 2011, Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Darpawan, Pengadilan Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Umum), http://darpawan.wordpress.com/2009/05/08/pengadilan-hak-asasi-manusia-suatu-tinjauan-umum/, Diakses 17 Februari 2014, pukul 11.02. http://www.sarjanaku.com/2010/10/nilai-nilai-hak-asasi-manusia-ham.html?m=1, pada tanggal 16 Feb 2014 pukul 06.30. [1] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 1. [2] Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,(Yogyakarta: Inti Media, 2011), hlm. 182-183. [3] Ibid, hlm. 185. [4] Ibid, hlm. 186. [5] Ibid. [6] Ibid. [7] Diakses dari http://www.sarjanaku.com/2010/10/nilai-nilai-hak-asasi-manusia-ham.html?m=1, pada tanggal 16 Feb 2014 pukul 06.30. [8] Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta:Naufan Pustaka, 2010), hlm. 7-9. [9] Ibid, hlm 9-10. [10] Ibid, hlm. 23. [11] Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 39. [12] Darpawan, Pengadilan Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Umum),http://darpawan.wordpress.com/2009/05/08/pengadilan-hak-asasi-manusia-suatu-tinjauan-umum/, Diakses 17 Februari 2014, pukul 11.02. [13] Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 2. [14] Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, KebijakanPublik Pro Gender (Surakarta: LPP UNS dan UNS Pess, 2009), hlm. 19-20. [15] Mufidah, Isu-isu Gender Kontenporer dalam Hukum Keluarga, (Malang: UIN-Maliki Press.2010), hlm. 164-165. BAB I
PENDAHULUAN Latar Belakang masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh dato seri anwar ibrahim dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 september 1995 di jakarta. konsep yang diajukan oleh anwar ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. lebih jelas anwar ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. menurut quraish shibab, masyarakat muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. selanjutnya shihab menjelaskan, kaum muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan allah dan rasul-nya. (quraish shihab, 2000, vol.2: 185). perujukan terhadap masyarakat madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, qs. ali imran [3]: 105). adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam qs an-nahl [16]: 125. dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. kita juga harus meneladani sikap kaum muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. jika sikap yang melekat pada masyarakat madinah mampu diteladani umat islam saat ini, maka kebangkitan islam hanya menunggu waktu saja. Rumusan Masalah Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan beberapa rumusan masalah pembahasan ini, yaitu: 1. Apa yang di maksud dengan masyarakat madani? 2. Bagaimana sejarah pemikiran tentang masyarakat madani? 3. Apa syarat terbentuknya masyrakat madani? 4. Seperti apa karakteristik masyarakat madani? 5. Apa saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani? 6. Bagaimana masyarakat indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani? Tujuan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat madani mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai – nilai masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata. Yang meliputi: - Pengertian masyarakat madani - Sejarah pemikiran tentang masyarakat madani - Syarat terbentuknya masyrakat madani - Seperti apa karakteristik masyarakat madani - Pilar penegak terciptanya masyarakat madani - Masyarakat indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani BAB II CORAK DAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI Pengertian masyarakat madani ( civil society ) Sekitar pertengahan abad xviii dalam tradisi eropa pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. akan tetapi pada paruh abad xviii, terminologi ini mengalami pergeseran makna. state dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur politik dan eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. pendapat ini diungkapkan oleh as hikam tahun 1999.[1] Selanjutnya, istilah masyarakat madani di indonesia diperkenalkan oleh dr. anwar ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara festival istiqlal ii tahun 1995 di jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa inggris, atau al-mujtama’al-madani dalam bahasa arab, adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual (prasetyo, et al. 2002: 157). Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). lawannya, adalah “ masyarakat liar”(savage society). Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik. Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratif-partisipatif, reflektif, dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan aksesif negara. Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sejarah pemikiran masyarakat madani (civil society). Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic. Menurut manfred, cohen dan arato serta m. dawam rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa aristoteles. disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani. Fase pertama,(aristoteles, 384-322 sm) masyarakat madani di pahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. istilah koinonia politike yang di kemukakan oleh aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. hukum sendiri dianggapetos, yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara. Konsepsi aristoteles ini diikuti oleh marcus tullius cicero (106-143 sm) dengan istilah societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. tema yang di kedepankan oleh cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini dikembangkan pula oleh thomas hobbes (1588-1679 m) dan john locke (1632-1704). Pada masa itu civil societydipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic society). [2] Fase kedua. pada tahun 1767 adam ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. berbeda pendapat dengan pendahulunya, ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. dengan konsepnya ini, ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara alamiah. Fase ketiga. pada tahun 1792 thomas paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. menurutnya, civil society adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. sejalan dengan pandangan ini, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya. Fase keempat. wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh g. w. f. hegel (1770-1831 m), karl max (1818-1883 m), dan antonio gramsci (1891-1837 m). pandangan mereka, civil society merupakan elemen ideologi kelas dominan. pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan paine yang memisahkan civil society dari negara. berbeda dengan pandangan paine, hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. pandangan ini, menurut pakar politik indonesia ryaas rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara. Lebih lanjut hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. selanjutnya, masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society. Berbeda dengan hegel, karl max memandang bahwa civil society dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Antonio gramsci berbeda pendapat dengan marx, yaitu ia lebih memandang pada sisi ideologis. menurut gramsci, civil society merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat. Fase kelima. wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab hegelian yang dikembangkan oleh alexis de tocqueville (1805-1859). bersumber dari penglamannya mengamati budaya demokrasi amerika, tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. menurut tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi amerika mempunyai daya tahan yang kuat. mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara. Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. mulai dari ,(aristoteles, 384-322 sm) yang memaknai masyarakat madani sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilahkoinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. dan pada akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya. Syarat terbentuknya masyarakat madani. Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut rasyid dalam barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent. Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat terbentuknya masyarakat madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat madani;(2) keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani adalah merupakan masyarakat yang ideal;(3) satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan dan (4) kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi. [3] Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani. karenanya semua syarat tersebut harus ada ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang madani. Karakteristik masyarakat madani Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. karakteristik tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban. 1. Free public sphere (wilayah publik yang bebas). yang di maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh arendt dan habermas. Warga negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap kegiatan politik. warga negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public spheremenjadi salah bagian yang harus di perhatikan. karena dengan mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya. 2. Demokrasi. Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara. Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. 3. Toleransi. Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan nurcholish majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. senada dengan majdid, azra menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa. 4. Pluralisme. Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah. kemajemukan dalam pandangan majdid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. secara teologis, tegas majdid, kemajemukan social merupakan dekrit allah untuk umat manusia. 5. Keadilan sosial. Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan. Dengan terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani. secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah (penguasa). Sangatlah bagus beberapa karakteristik masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere, demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. bahwa masyarakat tersebut selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pilar penegak masyarakat madani. Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. [4] Ada lima pilar penegak masyarakat madani: 1. Lembaga swadaya masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. selain itu lsm juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat. 2. Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negara. 3. Supermasi hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap peraturan hukum yang sudah ditetapkan. hal tersebut untuk mewujudkan masyarakat yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar warga negara. 4. Perguruan tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. disisi lain perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat 5. Partai politik, partai politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani. Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah. Masyarakat madani indonesia. Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. salah satu cirri dari bermasyarakat indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa indonesia. masyarakat dan budaya indonesia yang bhinneka. Menurut pendapat lombard, indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. oleh sebab itu, di indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat negara-negara lain yang pernah masuk ke indonesia selama berabad-abad. dengan adanya masyarakat indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat indonesia. kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya indonesia. beberapa ciri pokok masyarakat madani indonesia. Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman yunani klasik seperti ahli piker cicero. di dalam kaitan ini hikam misalnya mengambil pemikiran alexis tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani. [5] Dengan pendekatan elektrik, hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat madani yaitu: 1. Kesukarelaan. artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. kenggotaan masyarakat madani adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan bersama. 2. Keswasembadaan. setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. namun, justru membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan pertolongan. 3. Kemandirian tinggi terhadap negara. bagi mereka (anggota masyarakat madani) negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. inilah negara yang berkedaulatan rakyat. 4. Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan negara kekuasaan. Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh hikam dengan pendekatan eklektik. dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke negara indonesia. Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah sebenarnya masyarakat madani itu. dan agar orang-orang tidak salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri. Civil society sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Di indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya, walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan keberhasilan pembangunan indonesia. sebagai pembuktiannya, pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti LKMD, PKK, HKTI di tingkat kecamatan dan partai politik di tingkat nasional. hambatan- hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya masyarakat madani yaitu : a) Organisasi tersebut bukan organisasi yang bersifat otonom. program, dana dan pengurus terdiri dari pejabat atau mantan pejabat pemerintahan. masyarakat memandangnya baik-aik saja, akan tetapi oknum-oknum tertentu ada yang bisa menghambat jalannya suatu proses pembangunan. b) Lemahnya partai politik dan pers indonesia. c) Akibat absennya civil society dalam proses pembangunan indonesia walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun tahap pertama pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar bagi pembangunan manusi indonesia sutuhnya. [6] Sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tersebut, mengakibatkan tatanan masyarakat yang madani secara utuh belum bias tercapai di indonesia. selain itu, masih ada factor lain diantaranya korupsi yang kian merakyat dan membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat – pejabat yang kurang bertanggung jawab serta nepotisme yang menjadikan persaingan kehidupan yang tidak sehat dan penuh kecurangan. jauh dari tolok ukur sebagai masyarakat yang madani. BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik 2. Sejarah pemikiran tentang masyarakat madani berturut – turut dari masa ke masa hingga saat ini terus berkembang 3. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut rasyid dalam barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent. 4. Karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal 5. Pilar penegak terciptanya masyarakat madani institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. ada lima pilar penegak masyarakat madani 6. Masyarakat indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani dikarena memiliki satu prinsip yang menyatukan semua yaitu Bhinneka Tunggal Ika. SARAN Mengingat keterbatasan kami dalam membuat makalah ini, maka kami harap saran membangun dari para pembaca yang budiaman. Dan akhirnya semoga karya kecil ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiin… . DAFTAR PUSTAKA m.hum, mahrus, dkk, pancasila dan kewarganegaraan, yogyakarta: pokja uin sunan kalijaga, 2005. rosyada, dede, dkk, demokrasi, ham dan masyarakat madani, jakarta: prenada media,2003 soetrisno, loekman, menuju masyarakat partisipatif, yogyakarta: kanisius, 1995. suryadi culla, adi, masyarakat madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, jakarta: pt rajagrafindo persada, 1999. [1] m.hum, mahrus, dkk, pancasila dan kewarganegaraan, yogyakarta: pokja uin sunan kalijaga, 2005, hlm 5 [2]rosyada, dede, dkk, demokrasi, ham dan masyarakat madani, jakarta: prenada media,2003, hlm 15 [3] soetrisno, loekman, menuju masyarakat partisipatif, yogyakarta: kanisius, 1995, hlm 23 [4] suryadi culla, adi, masyarakat madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, jakarta: pt rajagrafindo persada, 1999, hlm 30 [5] soetrisno, loekman, menuju masyarakat partisipatif, yogyakarta: kanisius, 1995, hlm 31 [6] suryadi culla, adi, masyarakat madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, jakarta: pt rajagrafindo persada, 1999, hlm 23 MAKALH PLURALISME
Oleh Faisol BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah membuktikan bahwa perkembangan pemikiran keislaman memiliki riwayat yang cukup panjang dan berliku. Pemikiran tersebut terus menerus berlangsung, karena proses kebudayaan masyarakat senantiasa berkembang dan semakin kompleksnya segala persoalan yang ada ditengah masyarakat. Islam sebagai agama yang diridoi Allah Swt mampu tampil adaptif terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat, walaupun tidak sedikit terdapat benturan terhadap tatanan sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Dalam konteks perkembangan pemikiran yang pluralis ini perlu untuk kita waspadai, sebab dalam perkembangan kontemporer selama ini ternyata pemikiran tersebut terdapat niatan untuk menghancurkan aqidah umat Islam melalui para intelektual muslim itu sendiri. Semoga kajian pluralisme pemikiran Islam ini, dapat memberi wawasan bagi kita dalam mewaspadai adanya gerakan-gerakan pemikiran yang plural, yang aktor penggeraknya justru oleh kalangan cendikiawan muslim untuk merusak Islam dan umat Islam. Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama - agama, untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya di desak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama - agama dan kepercayaan - kepercayaan yang lain itu. Mengembangkan teologi agama - agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional ( Barat ) yang berakar kuat serta resistensi fundamentalisme . Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif, Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Pluralisme? 2. Bagaimana pluralisme dalam kajian islam? 3. Apa saja dilema pluralisme? C. Tujuan Dalam kajian kali ini bertujuan: 1. Memberikan informasi tentang pengertian pluralisme. 2. Menambah wawasan pluralisme menurut kajian Islam. 3. Mengetahui beberapa dilema yang ada tentang pluralisme. BAB II PEMBAHASAN Sejak kerasulan Muhammad Saw maka kajian mengenai ilmu pengetahuan maupun ilmu-ilmu yang lainnya mulai mendapatkan perhatian, yang sebelumnya telah meredup dan hal ini menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Dengan turunnya wahyu al qur’an secara berangsur-angsur dan sebagai parnernya sunah rasulullah Saw, maka hal ini menjadikan ilmu pengetahuan semakin semarak untuk dikaji oleh kalangan umat Islam itu sendiri. Sehingga mampu melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang hingga sekarang terus mengalami perkembangan yang berdampak untuk kemaslahatan umat manusia dibumi. Seiring dengan perluasan Islam ke berbagai negeri, ternyata ilmu-ilmu yang bernuansa Islam turut serta memperkaya khazanah intelektual muslim dengan ditandai banyaknya tokoh-tokoh Islam yang ahli dalam berbagai bidang ilmu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan juga dipengaruhi oleh pemikiran dari kaum non muslim, sebab berbagai keilmuan maupun budaya dalam Islam dibarengi dengan ekspansinya ke berbagai wilayah. Islam mampu berinteraksi dengan budaya-budaya lokal atau budaya setempat bahkan terhadap ilmu pengetahuan selama budaya tersebut tidak menyalahi dari koridor ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Pluralitas pemikiran Islam berlangsung sejak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural. Akan tetapi dari pemikiran yang plural tidak semuanya itu buruk, asalkan saja pemikiran tersebut tidak menyimpang dari hukum Islam. A. Pengertian Pluralisme Pluralisme berasal ari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan. Pluralisme atau Kemajemukan · Sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat. · Perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat dan menuntut anggotanya untuk menjaga, menghargai dan menumbuhkan nya B. Pluralisme dalam kajian studi islam · Musa Asy’ariè sesungguhnya berbeda dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan , namun sangat diperlukan. · Al-Qur’an mengajarkan kepada kepada kita akan penting dan perlunya memberlakukan perbedaan dan Pluralisme secara arif yaitu untuk mengenal dan belajar atas adanya perbedaan dan Pluralitas untuk saling membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihat dalam perspektif tinggi dan rendah ataupun baik dan buruknya . · Al-Qur’an juga menganjurkan kepada kita untuk dapat menjaga dan mengembangkan musyawarah. · Musyawarah yang di anjurkan adalah musyawarah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas bukan yang basa-basi yang selama ini berkembang dalam iklim kehidupan politik yang represif yang akhirnya hanya melahirkan kesepakatan yang kosong hanya ada diatas kertas tetapi tidak dijalankan dalam aktualitas kehidupan bersama dan tidak melahirkan dampak yang mententramkan bagi kehidupan masyarakat. Berikut kami sajikan beberapa varian pemikiran Islam yang berkembang dalam masa perkembangan Islam : 1. Pemikiran Kalam (teologi) Kalam atau teologi menurut Ibnu Khaldun didefinisikan sebagai ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam memper-tahankan aqidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dari dogma yang dianut kaum muslim pertama dan ortodoksi muslim. Permasalahan yang muncul hingga terjadinya keretakan dikalangan kaum muslim sesaat ketika wafatnya Nabi Muhammad Saw ialah perkara keabsahan siapakah pengganti pemegang otoritas kekuasaan atau khalifah setelah kepergian beliau Saw. Kemudian hingga pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, muncul isu siapakah yang lebih berhak menggantikan Nabi (khalifah) dan isu ini semakin mengemuka dan menjadi perbincangan bagi para pemuka maupun masyarakatnya. Puncaknya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib umat Islam mengalami perpecahan dan perseteruan hingga mengalirnya darah kaum muslimin yaitu antara khalifah Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Saw dengan kubunya Muawiyah yang juga sebagai kerabat khalifah sekaligus gubernur Damaskus di masa itu. Berlatarbelakang dari permasalahan tersebut, sekelompok umat Islam mulai berani membuat analisis mengenai kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Apakah bagi pembunuhnya berdosa ataukah tidak, analisa yang lainya mengenai perbuatan pembunuhan itu apakah pelakunya digerakkan oleh dirinya sendiri atau digerakkan oleh Tuhan. Kalangan umat Islam menduga, berawal dari persengketaan inilah yang merupakan cikal bakal tumbuhnya beberapa paham yang kita hingga sekarang yang dikenal dengan sebutan jabariyah dan qodariyah. Akibat suasana yang semakin tidak kondusif tersebut membuat kaum muslimin memutar pikirannya untuk mencarikan solusinya, hingga sampai terjadi peristiwa arbitrase yaitu upaya penyelesaian persengketaan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah pada perang jamal dan sengketa antara khalifah Ali bin Abi Thalib Muawiyah bin Abu Sufyan Upaya perdamaian pada perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, ternyata upaya tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib. Akibat dari tahkim itu kubu pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib terpecah, sedangkan kelompok yang memisahkan dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan Khawarij. Khawarij yang dipelopori Abdullah bin Wahab al Rasybi, berfatwa bahwa orang yang terlibat dalam tahkim baik menyetujui bahkan melaksanakanya dinyatakan berdosa besar dan setiap yang berdosa besar dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia dihukumi kafir. Persoalan penentuan kafir maupun tidak kafir sudah masuk ranah aqidah bukan sekadar persoalan politik. Karena timbulnya keresahan akibat fatwa golongan khawarij, maka sebagian umat Islam yang lain secara tegas menolaknya, dengan argumentasi bahwa fatwa tersebut tidak dilandasi nash dalam al qur’an maupun sunah maka kepastian hukumya ditunda dahulu dan diserahkan kepada Allah di negeri akhirat kelak. Disamping itu muncul reaksi lain yang memberikan dukungan kepada khalifah Ali bin Abi Thalib bahkan secara berlebihan mereka mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib, kelompok ini dikenal dengan nama golongan Syiah. Bermula dari analisa-analisa pemikiran tersebut hingga terlahirlah banyak corak aliran kalam dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwa faktor politik cukup dominan dalam mempengaruhi munculnya pluralitas pada ilmu kalam. 2. Pemikiran Fiqih Islam merupakan agama konstitusi yang mampu mengatur kehidupan umat manusia, dan hal ini tidak dimiliki oleh pedoman kitab-kitab lain yang ada di dunia. Islam ajarannya menuntut untuk ditegakkanya keadilam sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dengan banyak permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam melalui cabang ilmu fiqihnya mempunyai peranan cukup penting dalam memberikan solusi yang timbul di masyarakat. Pada masa rasulullah Saw segala permasalahan yang muncul dan belum diketahui jawabanya maka kepastian jawaban sebagai alternatif solusinya dapat langsung ditanyakan kepada baginda rasulullah Saw. Sepeninggal beliau wilayah Islam terus mengalami perkembangan melalui ekspansi ke berbagai penjuru dunia, sehingga hal ini tentunya semakin banyaknya persoalan yang cukup rumit yang ditemui oleh umat Islam. Dengan demikian, tokoh-tokoh Islam dituntut pemikiranya dalam menghadapi segala persoalan yang ada, dengan kembali kepada al-qur’an dan sunah hingga melakukan ijtihad. Pemikiran ilmu fiqih sebagai klasifikasinya dalam mengatur perilaku kehidupan umat manusia. Sebagai contohnya, hukum ibadah mengatur hubungan antar individu dengan Allah Swt. Hukum keluarga mengatur antar individu dengan individu dalam keluarga. Hukum kebendaan dan kewarisan mengatur hubungan antar individu dengan dalam hal kebendaan, komunitas dan Negara. Hukum perkawinan mengatur hubungan antara individu dengan individu untuk melindungi kehormatan dan keturunan. Hukum pidana mengatur lalulintas antarhubungan yang menjamin kemanan dan ketertiban masyarakat dan bernegara melalui sistem sanksi. Hukum tata negara mengatur hubungan dan tata cara pengaturan Negara, pemerintahan, hubungan antar negara dan bangsa. Fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembangnya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama/dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai. Misalnya Imam Syafi’I menyatakan: “pendapat saya benar, tapi mungkin juga salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah, tapi bisa juga benar. Secara umum, perkembangan pemikiran dalam bidang fiqih terbagi dalam beberapa tahapan yaitu: ü Tahap pertama adalah pembentukan yang dimulai pada masa kerasulan Muhammad Saw, masa khufa’ur rasyidin, hingga paruh pertama abad Hijriah. ü Tahap kedua adalah masa pembentukan fiqih yang dimulai pada paruh pertama abad 1 H Hingga awal abad ke 2 H. Tahap ini fiqih terpola melalui mazhab. ü Tahap ketiga adalah pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad 2H hingga pertengahan abad 4H. Masa ini, ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan dilengakpi dengan ilmu ushul fiqih. ü Tahap keempat adalah masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting jatuhnya Baghdad dan ditutupnya pintu ijtihad oleh para ulama. ü Tahap kelima adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara. 3. Pemikiran Filsafat Filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukanlah filsafat, yang dipahami adalah sistem rasional pemahaman dan wahyu atau agama dipahami secara totalitas. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat yunani yang dijumpai ahli-ahli fiqih Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir, seiring dengan ekspansi Alexander yang Agung keTimur pada abad ke IV SM. Eksistensi filsafat sebagai bagian yang sah dalam Islam terdapat varian yang beragam pandangan. Bahkan keberadaanya justru seringkali dicurigai hingga dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Fazlur rahman berpendapat “filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam. Filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh filsafat”. Tradisi berfikir filsafat yang kuat dalam Islam telah menghantarkan umat Islam memasuki keemasanya sebagai pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Dengan landasan keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran Islam menjadikan umat Islam masa itu tidak takut terhadap jenis pemikiran yang bagaimanapun liarnya. Peranan pemikiran filsafat dalam Islam terbukti mampu membangkitkan dan menghidupan Islam dengan kejayaan dan berhasil membangun sebuah peradaban yang cukup cemerlang hingga dikenang sepanjang zaman. Eksistensi filsafat dalam Islam menggugah para tokoh atau ulama Islam terinspirasi dan termotivasi untuk mempelajari dan mengembangkanya hingga banyak sekali karya-karya yang berhasil ditemukan dan diciptakan. Berbagai karya dari para filsuf-filsuf kenamaan tersebut diantaranya ialah : o Al-Kindi bukan hanya sebagai filsuf tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-imu pengetahuan pada zamanya. Karya-karyanya antara lain: matematika, geometri, astronomi, pharmacology, ilmu hitung, ilmu jiwa, optik, politik, musik dan sebagainya. o Al-Farabi, menulis buku mengenai ilmu manthiq, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik dan sebagainya. 4. Tasawuf Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realistis dan kebahagiaan rohaniah. Secara singkat tasawuf adalah moral, moral adalah jiwa agama. Tasawuf merupakan yang terdiri atas kondisi dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang ingin menjadi sufi memulai langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa mejadi orang yang berhak menerima penampakan (tajalli), selalu meningkat hingga dapat merasakan adanya Allah direlung jiwanya dan demikian dekat dengan-Nya. Demikianlah ulasan global mengenai pluralitas pemikiran Islam yang berkembang dimasa-masa perkembangan dan kejayaan Islam hingga abad sekarang. Adapun perkembangan pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Sebagai misal, umat Islam diminta untuk toleran dalam peribadatan kaum non-muslim dengan sama-sama merayakan hari besar mereka (natal), terbitnya buku fiqih lintas agama, mengubah tata cara dalam beribadah dan lain sebagainya. Pemikiran yang semacam ini tentunya harus diwaspadai dan dieliminir keberadaannya agar tidak merusak aqidah dan syariat Islam. Islam dan Tantangan Pluralisme agama 1. Perkembangan spiritual dan materitual a. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah untuk membuat umat manusia menjadi satu komunitas tetapi Allah memberi Rahmat dengan Pluralisme dengan menambah kekayaan dan keberagaman hidup b. Setiap komunitas mempunyai jalan hidup kebiasaan tradisi dan hukumnya sendiri dan semua hukum dan cara hidup itu haruslah menjamin perkembangan dan memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain. c. Allah tidak memaksakan satu hukum untuk semuanya dan sebaliknya menciptakan banyak pluralitas. d. Allah tidak menciptakan banyak pluralitas dengan sesuatu tujuan yaitu untuk menguji umat manusia atas apa yang telah diberikan kepada mereka (misalnya perbedaan kitab suci, hukum, dan jalan hidup). Tujuan itu adalah untuk hidup secara damai dan harmonis sesuai kehendah Allah. Perbedaan hukum dan jalan hendahnya tidak menjadi penyebab ketidakharmonisan dan perbedaan yang diharapkan dari manusia adalah hidup degan segala perbedaan & berlomba-lomba satu sama lain dalam amal kebaikan. 2. Menghormati tempat-tempat ibadah Sebagai konsekuensi semua tempat ibadah harus dihormati dan dilindungi, al-Qur’an menyebutkan bahwa di dalam tempat-tempat ibadah baik itu gereja, tempat ibadah orang yahudi atau masjid banyak disebut nama Allah. Bagian yang paling konkrit & signifikan. Tidak ada tempat ibadah agama yang lebih istimewa. 3. Civil society yang Pluralis Islam betul-betul berupaya mengembangkan civil society yang pluralis dan menjamin martabat dan kebebasan setiap orang Karena teori-teori ini self contradiction dan reduksionisme yang pada dirinya akhirnya berseberangan dengan tujuan yang semula direncanakan bukannya toleran tapi malah berubah menjadi intoleran dan bengis terhadap perbedaan agama lebih dari itu teori cenderung mengeliminasi dan menekan “kelainan yang lain-lain” (the otherness of the others). Tren-tren pluralism agama lebih merupakan ‘masalah’ baru daripada sebuah solusi Pluralism ditilik dari nalar kritis dan historis · Fenomena pluralitas agama telah banyak menyita perhatian para teolog, filosof, pemikir, budayawan, akademisi dan kaum cerdik-cendekiawan · Solusi yang ditawarkan oleh kaum pluralis muslim atas isu kemajemukan tentu saja tampak menarik, meyakinkan dan promising namun kajian yang kritis dan mendalam terhadap argument dan nalar yang dikembangkan menunjukkan adanya kelemahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodeologi maupun subtansi, diantaranya : a. Inkonsistensi b. Reduksi kerancuan nalar kritis pluralism agama Menurut Jonh Hick ada 2 hal: a. Gagasan pluralism agama tidak monolitik, dalam pengertian terdapat pluralitas dalam pluralisme agama. b. Pluralism memang meniscayakan keragaman dan divercity bukan persamaan namun perbedaan itu bukan saling dibenturkan melainkan dimaknai sebagai desain Ilahi dan kebjakan social sehingga memunculkan sifat inklusif dan apresiasif.
b. Netral c. Negative
1. Islam dan Pluralisme Kesamaan pandangan mengenai pluralism yakni menerima keragaman sebagai fakta sejarah dan social. Dekage terakhir gagasan-gagasan yang memihak dialog dan pluralisme agam mulai mendapat perhatian. Pemikiran muslim modernis dan liberal menganggap pluralism sebagai bagian dari desain dari Ilahi dank arena itu melambang kekayaan. 2. Komitmen Dialog Untuk dapat mengakui, mentolelir, mempertahankan dan bahkan mendorong pluralism agama, seseorang tidak perlu meninggalkan komitmennya terhadap agamanya sendiri. Secara pskologis tanpa komitmen dan loyalitas, kita tidak akan bisa mengartikulasikan secara bermakna perihal religious personality atau religious community. Perbicaraan tentang pluralitas dan dialog agama akan sangat berarti apabiala terjadi dikalangan orang-orang yang punya komitmen Model Dialog Antar Agama 1. Signifikansi dialog Paradigma keagamaan telah terpatri dan teraplikasi dalam kehidupan beragama, maka model dialog agama yang dianggap sesuai karakter dan sosio cultural masyarakat setempat dapat dilalui dalam sebuah musyawarah dan kesepakatan bersama antar mereka yang berbeda agama. 2. Model dialog Muhammad Jafar menegaskan 3 model dialog : 1. Parliamentary dialogue (dialog parlementer) 2. Institutional dialogue (dioalog kelembagaan) 3. Dialogue in community (dialog dalam masyarakat) dan dialog oflife (dialog kehidupan) Muhtadin menawarkan suatu pendekatan cultural sebagai mekanisme dialog agama yang sangat penting dan lebih mengena. C. Dilemma Pluralism Dan Dialog Agama 1. Terkesan elitis Dalam lingkup yang lebih luas, gagasan pluralism dan inklusivisme hendaknya dikembangkan sebagai wacana public melalui intensifikasi pnyelenggara ekskusi, seminar dsb guna mengenalkan identitas agama-agama dan alirannya dengan perspektif wawasan yang lebih terbuka dan tidak fanatic. 2. Bias politik Kerukunan dan persaudaraan antar agama seringkali tercabik oleh perbedaan orientas politik tokoh-tokok keagamaan Intergritas Dialog Antar Agama · Hal positif dari aktivitas dialog lintas agama 1. Berkumpulnya orang-orang dari berbagai keyakinan yang berbeda dan tumbuhnya semangat persahabatan, dan saling percaya dikalangan masyarakat yang semula mempunyai pandangan negative bahkan permusuhan satu sama lain. 2. Berkembangnya bentuk kesarjanaan yang lebih simpatik dan bersahabat tentang islam, terutama dalam lingkungan academia Kristen barat. 3. Lompatan metodelogis dalam studi agama-agama. Tantangan Tantangan yang kita hadapi bukan bagaimana menyelamatkan agama dari keaneragaman teologi, misi, dan tradisi, melainkan bagaimana membangun komitmen menghargai perbedaan itu. Al-Qur’an sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik temu (kalimatun sawa’), bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual ataupun institusi, sebab keragaman itu memang desain Ilahi, Agama dan Perbedaan Kultur perdamaian dapat tumbuh, berkembang, dan membawa kita kepada masa depan yang lebih baik. kita memang menaruh harapan besar bahwa diaolog lintas agama akan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan kultur perdamaian. Munculnya sejumlah gerakan social yang berjuang untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pluralitas pemikiran Islam berlangsung semenjak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural. 2. Akibat ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah menuntut para ulama fiqih untuk berfikir mencari solusi dari persoalan yang muncul. Sedangkan, fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembanganya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai. 3. Filasafat memberikan kontribusi penting dalam membawa Islam kemasa kejayaan dengan ditandai terbangunya sebuah peradaban yang besar dan mengagumkan. Tasawuf selaras dengan ajaran Islam mengenai penanaman pentingnya moralitas pada jiwa manusia. Perkembangan paham pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan aqidah umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Hal ini patut untuk waspadai dan dieliminir keberadaan ajarannya. B. Saran Demikian yang dapat kami paparkan terkait dengan pemikiran pluralisme beserta pengertiannya. Saran – saran yang mendukung dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan. Akhirnya semoga karya kecil kami ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin ..... . DAFTAR PUSTAKA Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1983. Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia: IIIT, 1989. Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1994. Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia. Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994. Anwar, Syamsul. “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”. Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 28 Agustus, 2002 Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh Komtemporer. Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002. Karim, Reza. 1974, 2. Arab Jatir Itihash. Dhaka. Bangla Academy. Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus. Rahman, Fazlur. 1985, Islam and Modernity: Transformation and Intelektual Tradirion, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka. Wijdan Dkk, Aden. 2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian Insan Press, Yogyakarta. PENGARUH LINGKUNGAN YANG MEMBENTUK KARAKTER SANTRI PEMBANGKANG Oleh FAISOL BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagaimana kita maklumi bersama, bahwa dalam membentuk suatu generasi bangsa di masa mendatang adalah sebuah tugas yang sangat berat yang menjadi tugas setiap bangsa. Di sinilah letak peran utama lembaga pendidikan yang di sanalah proses pembentukan karakter generasi bangsa dilaksanakan. Pondok pesantren dan lembaga – lembaga pendidikan islam yang lainnya mempunyai peran yang penting dalam hal ini. Mengingat satu – satu ajaran yang memiliki nilai – nilai moral etika yang luhur adalah ajaran Islam. Namun dalam hal ini, tidak bisa berjalan apabila tidak ada dukungan dari pihak – pihak tertentu yang tidak bisa lepas dari proses perjalanan pendidikan tersebut. Salah satu di antaranya adalah lingkungan. Lingkungan yang kondusif akan mempermudah dalam proses perkembangan suatu pendidikan, sebaliknya lingkungan yangtidak kondusif akan mempesulit proses berjalannya suatu pendidikan. Bila kita tinjau bersama, maka kita akan menemukan di negara kita ini adalah negara yang kaya akan penghasilan alamnya. Dari sana kita seharusnya dapat meningkatkan pendidikan dengan mengkolaborasikan antara keadaan yang ada di sekitar kita dengan hal – hal yang berbasis pendidikan. Tetapi kita juga tidak memungkiri banyaknya daerah – daerah yang ada di sekeliling kita di negeri tercinta ini, yang masih tidak mendukung dengan proses jalannya suatu pendidikan. Maka dalam karya ilmiah kecil ini, kami mengajak para pembaca yang budiman untuk sedikit memperhatikan kenyataan yang ada dari lingkungan yang kurang mendukung terhadap jalannnya proses pendidikan. Lewat sebuah penelitian yang kami lakukan di sebuah lembaga Pendidikan Diniyah Awaliyah AL – MUTA’ALLIMIN Desa Sumber Rejo Kecamatan Sukodono Kabupaten Lumajang, dengan tema “Pengaruh Lingkungan Yang Membentuk Karakter Santri Pembangkang”. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiiin… . Rmusan Masalah Sesuai dengan yang telah terurai dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: - Apa pentingnya pendidikan? - Apa pengaruhnya lingkungan terhadap jalannya proses pendidikan? - Apa pengarunya lingkungan terhadap karakter santri? Tujuan Memberikan informasi/ pengetahuan lebih mendalam tentang Pengaruh Lingkungan Yang Membentuk Karakter Santri Pembangkang yang di dalamnya meliputi: - Pentingnya pendidikan. - Pengaruh lingkungan terhadap jalannya proses pendidikan. - Pengarunya lingkungan terhadap karakter santri BAB II PEMBAHASAN PENGARUH LINGKUNGAN YANG MEMBENTUK KARAKTER SANTRI PEMBANGKANG Pentingnya Pendidikan Para pembaca yang budiman, manusia pada umumnya dilahirkan tidak memiliki ilmu. Dia tidak dapat manulis, membaca, atau bahkan tak akan bisa melakukan banyak hal yang seperti kita lakukan sekarang ini. Satu – satunya wadah yang memberikan manusia kemampuan dan ketrampilan adalah pendidikan. Baik itu pendidikan yagn diadakan secara formal atau non formal. Dari tidak tahu menjadi tahu, hanyalah suatu proses yang bisa dilakukan dengan belajar, atau pendidikan. Sebagaimana yang telah diperintahkan sendiri oleh Allah SWT terhadap Nabi Muhammad SAW dalam firmannya yang artinya “Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan”. Hal ini mengindikasikan pada kita bahwa kewajiban belajar adalah suatu hal yang mutlak untuk dilaksanakan oleh setiap individu manusia. Sebagai kholifah di muka bumi manusia memiliki tugas untuk memakmurkan masa depan dunia. Dan itu tidak akan pernah bisa kecuali dengan menenggelamkan diri pada suatu ilmu yang hanya bisa dilalui dalam suatu pendidikan. Dari sinilah pentingnya peran pendidikan dalam mengubah dan meningkatkan kualitas hidup manusia dari zaman ke zaman. Pengaruh lingkungan terhadap jalannya proses pendidikan Dalam segala aktifitas yang kita lakukan, tak pernah lepas dari yang namanya lingkungan. Apa pun aktifitas kegiatan kita, maka kita akan selalu dipertemukan dengan lingkungan. Tak terkecuali dalam pembahasan kita kali ini. Pendidikan sebagaimana kita maklumi bersama akan berjalan seimbang apabila didukung dengan keadaan lingkungan yang juga mendukung terhadap jalannya pendidikan. Lingkungan yang kondusif dan bersahabat dengan jalannya suatu pendidikan akan membuat perkembangan pendidikan suatu daerah akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan faktor – faktor yang ada dalam lingkungan itu sendiri yang bisa membuat seorang anak didik merasa betah dengan keadaan lingkungan. Suatu lingkungan pesantren misalkan, yang di dalamnya selalu kental dengan ajaran etika. Akan berjalan mulus apabila didukung dengan lingkungan yang jauh dari dekadensi moral. Psikologi seorang anak didik dan mentalnya tidak merasa tertekan. Dengan demikian maka pendidikan dalam pesantren tersebut akan sangat mudah untuk dikembangkan. Berbeda dengan suatu pendidikan yang diselenggarakan di suatu daerah yang tidak kondusif, tidak mendukung pada jalannya proses pendidikan. Suatu pesantren yang berada di daerah dekat tempat hiburan misalkan, maka akan sangat sulit proses jalannya pendidikan untuk dilaksanakan. Hal ini karena keadaan yang lingkungannya yang tidak memberikan anak didik untuk bisa leluasa dalam mengikuti proses pendidikan secara mental. Pengaruh Lingkungan Terhadap Karakter Santri Sesuai dengan tema pembahasan kita, dalam hal ini pengaruh lingkungan yang tidak kondusif atau tidak mendukung, dapat menyebabkan terbentuknya karakter – karakter santri yang tidak diinginkan. Tujuan utama didirikannya suatu lembaga pendidikan islam adalah membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan tuntunan agama Islam. Agama Islam sebagai satu – satunya rujukan dalam membangun karakter generasi bangsa. Untuk itu sangat perlu dukungan dari sebuah lingkungan di mana pendidikan itu dilaksanakan. Guna mempermudah proses jalannya suatu pendidikan. Seorang santri yang terbiasa hidup dilingkungan penuh dengan keharmonisan, ketentraman, ketaatan akan lebih mudah diatur dan dibimbing. Karena karakter yang telah terbentuk melalui interaksi anak tersebut dengn lingkungannya. Di saat anak tersebut masuk pada suatu pendidikan, maka akan dengan mudah anak itu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sebaliknya, seorang anak yang terbiasan hidup di lingkungan yang keras, jauh dari ketentraman batin dan ketaatan, maka akan sangat sulit diatur dan dibimbing. Karena karakter yang sudah bertolak belakang dengan karakter yagn ditanamkan dalam suatu lembaga pendidikan. Maka, seorang anak atau santri akan berani mambantah atau membangkang kepada perintah ustadz/ kyai, bila dia sudah terbiasa hidup di tengah lingkungan yang lebih membentuk dia pada karakter pembangkang. Nah, di sinilah pentingnya suatu pendidikan diselenggarakan di suatu lingkungan yang kondusif. Hal ini, akan semakin parah apabila pendidikan diselenggarakan di sebuah lingkungan yang tidak kondusif. Karena apabila demikian, sementara proses pendidikan itu tidak berusaha keras dalam mengembangkannya, maka akan terbawa oleh arus pergaulan yang ada dalam lingkungan yang tidak kondusif tersebut. BAB III KESIMPULAN Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah: 1. Pentingnya peran pendidikan adalah bahwa pendidikan satu – satunya sarana atau media yang dapat mengubah dan meningkatkan kualitas hidup manusia dari zaman ke zaman. 2. Pendidikan akan berjalan seimbang apabila didukung dengan keadaan lingkungan yang juga mendukung terhadap jalannya pendidikan. Lingkungan yang kondusif dan bersahabat dengan jalannya suatu pendidikan akan membuat perkembangan pendidikan suatu daerah akan semakin meningkat. Karena faktor – faktor yang ada dalam lingkungan itu sendiri yang bisa membuat seorang anak didik merasa betah dengan keadaan lingkungan 3. Pengaruh lingkungan terhadap karakter santri, seorang santri yang terbiasa hidup dilingkungan penuh dengan keharmonisan, ketentraman, ketaatan akan lebih mudah diatur dan dibimbing. Sebaliknya, seorang anak yang terbiasan hidup di lingkungan yang keras, jauh dari ketentraman batin dan ketaatan, maka akan sangat sulit diatur dan dibimbing. KRITIK DAN SARAN Demikian yang dapat kami paparkan mengenai pembahasan Pengaruh Lingkungan Yang Membentuk Karakter Santri Pembangkang yang menjadi bahan materi makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena kurangnya rujukan atau referensi yang ada. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca yang budiman untuk meningkatkan kesempurnaan kami dalam membuat makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah karya kecil kami ini menjadi bermanfaat bagi para pembaca yang budiman, amiiin… . DAFTAR PUSTAKA - Ilmu Pendidikan Islam, 1994. Dr. Ramayulis. - Al – Qur’anul Karim |